20

1.5K 181 0
                                    

Jiwa romantis memang sulit hidup dalam realita.
Selalu saja dia butuh kehadiran orang yang dicintainya.
Lalu bagaimana jika yang hadir justru yang mencintai
tapi tak dicintainya?


Aku tidak mau terpuruk dalam patah hati yang berkepanjangan karena nyatanya Sam tak akan kembali. Titik. Aku harus menemukan cinta yang baru untuk membayar waktuku yang telah terbuang sia-sia. Apa susahnya menemukan satu pria yang tepat untukku? There are plenty more fish in the sea, right? Aku cuma butuh satu pria dari ratusan juta pria yang ada di dunia ini. Cuma satu pria, tidak lebih.

"Dari tadi, Yu?" tanya Jason membuyarkan lamunanku.

"Baru saja, Mister."

"Kok panggil Mister lagi?"

"Kan saya diundang ke sini untuk meeting. Urusan pekerjaan."

Jason diam saja. Dia memandang semak Lee Kuan Yew yang menjulur lebat dari dinding setinggi tiga meter di hadapannya. Di bawah juntaian semak itu ada bangku jati panjang dan hamparan rumput Swiss yang terpangkas rapi. Bangku dengan desain sederhana itu melengkapi landscape serba hijau di sekitarnya dengan sempurna. Pemandangan menyejukkan itu lah yang tadi berhasil membuatku melamun.

Dengan bertelanjang kaki, Jason berjalan melintasi hamparan rumput itu. Ujung celana jeans-nya sedikit basah terkena sisa-sisa embun yang masih menempel di rumput. Dia duduk di ujung sebelah kiri bangku itu.

"Duduklah di sini, Yu," katanya menepuk dudukan di sebelahnya.

Aku menurut saja. Sama sepertinya, aku juga tidak menggunakan alas kaki menginjak rumput-rumput itu. Telapak kakiku merasakan sensasi rerumputan basah yang menyenangkan.

"Kamu tahu kalau Karl sering sekali menghabiskan waktu di sini?"

Aku menggeleng, "Mr. Nilsson jarang bercerita tentang kegiatan pribadinya."

"Hampir setiap pagi dia duduk di kursi rodanya di dekat pintu itu," Jason menunjuk pintu sliding kaca dimana tadi aku melamun. "Sayang sekali dia tidak bisa duduk di sini. Tidak bisa merasakan rumput-rumput basah ini di telapak kakinya. Dia punya banyak uang, tapi dia tidak bisa membeli apa yang benar-benar dia butuhkan. Malang sekali nasibnya."

"Kalau boleh tahu, kenapa Mr. Nilsson sampai lumpuh?"

"Dia nggak pernah cerita?"

Aku menggeleng pelan. Mr. Nilsson memang terkesan ramah tapi beliau selalu memastikan ada jarak denganku. Setiap kontrol ke rumah sakit, aku selalu mendampinginya untuk mencatat obat apa saja yang harus dikonsumsinya dan kapan jadwal kontrol berikutnya. Tapi tetap saja sampai saat ini Mr. Nilsson tidak pernah menceritakan penyebab kelumpuhannya padaku.

"Karl dan ayahku suka sekali skiing dan snowboarding ketika mereka remaja dulu. Waktu itu, mereka sedang liburan sekolah ketika Karl mengalami kecelakaan snowboarding di Alpen. Katanya, Karl hampir saja tidak selamat. Beberapa tulang rusuknya patah, paru-parunya kolaps, dan saraf tulang belakangnya cedera. Walaupun dia sudah dirawat selama beberapa bulan di rumah sakit, dokter tidak bisa menyembuhkan saraf tulang belakangnya yang rusak."

"Berarti Mr. Nilsson sudah lama lumpuh ya?"

"Sejak usianya tujuh belas tahun."

Pantas saja Mr. Nilsson tidak mau bercerita tentang penyebab kelumpuhannya. Peristiwa yang merenggut masa mudanya itu pasti terlalu menyakitkan untuk diingat kembali.

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang