43

4.9K 311 67
                                    

Cinta akan menghampiri mereka
yang menyambutnya tanpa ragu.


Selain Jason, setahuku hanya ada empat pasien lain di sini. Masing-masing pasien terbaring di ranjang yang dibatasi korden hijau khas rumah sakit pada umumnya. Sesekali terdengar suara dokter yang memberi instruksi kepada perawat, selebihnya hening. Satu-satunya suara yang terdengar secara konsisten di ruang ini adalah bunyi bip-bip yang dihasilkan alat-alat monitoring kondisi pasien.

Sepuluh menit sudah berlalu sejak aku duduk di samping Jason. Dia masih belum sadar dari pingsannya. Aku menyelimuti tubuhnya dengan selimut putih yang tadinya terlipat di ujung ranjang. Dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai ke leher itu, Jason tidak terlihat begitu mengerikan lagi. Lengan kanannya yang diperban dan noda darah pada kemejanya tertutup dengan sempurna.

Di dalam selimut, aku menggenggam tangan kirinya. Ibu jariku berulang kali mengusap punggung tangannya dengan lembut. Telapak tangan besar yang biasanya menghangatkan tanganku, kini justru terasa sedikit dingin. Gusti, kenapa dia menjadi tidak berdaya seperti ini?

Tiba-tiba Jason merintih. Dahinya berkerut dan perlahan matanya terbuka. Aku meremas tanggannya dan dia balas menggenggam tanganku, walaupun genggamannya tak sekuat biasanya.

"Hey, Je. Welcome back," (Hai, Je. Selamat datang kembali) sapaku lembut.

Dia meringis menahan sakit. "Bagaimana keadaan orang itu?"

"Orang yang mana?" tanyaku bingung.

"Supir forklift. Apa dia baik-baik saja?"

Kalau saja Jason dalam keadaan sehat, sudah pasti aku akan mencubitnya saat ini. Bisa-bisanya dia memikirkan keadaan orang lain padahal dia sendiri masih terbaring di ranjang IGD.

"Dia baik-baik saja," jawabku sambil mencium punggung tangannya. "How are you feeling now?" (Apa yang kamu rasakan sekarang?)

"Lenganku rasanya berat sekali."

"Bagaimana kepalamu? Sakit? Pusing?"

"Sepertinya kepalaku baik-baik saja."

"Syukurlah," kataku lega. Aku masih menggenggam tangannya dan meletakkannya di pipiku. Tangannya mulai menghangat. Jason menolehkan kepalanya ke lengannya yang terluka dan tertutup selimut. Dia terdiam cukup lama sebelum akhirnya menoleh kepadaku.

"Hayu, apakah mereka mengamputasi tanganku?" tanyanya cemas.

Aku menggeleng dan tersenyum dengan penuh perhatian padanya. "Mereka menjahit luka di lenganmu. Dua puluh tujuh jahitan. Itu saja."

Dia tampak lega. "Jadi, kapan saya boleh pulang?"

"Saya belum tahu. Dokter masih mengobservasi keadaanmu karena tadi kamu sempat pingsan. Takutnya kamu kena gegar otak," kataku sambil membenarkan letak selimut yang sedikit tersingkap karena aku mengangkat tangannya tadi.

"Selimutnya jangan dibuka," katanya cepat. Wajahnya tampak tegang.

"Dingin ya?"

Jason diam saja. Wajahnya masih saja terlihat pucat. Bibirnya kering. Genggaman tangannya di tanganku semakin erat. Ada rasa sedih yang menjadi-jadi merayapi hatiku melihatnya tidak berdaya seperti ini. Semoga hanya lengannya saja yang terluka, tidak ada pendarahan di dalam atau gegar otak.

"Je, saya minta maaf ya," kataku sambil mencium lembut lagi tangannya. "Seharusnya kemarin Jumat saya nggak membuatmu marah."

Jason tersenyum lemah, "Seingat saya, kamu yang marah."

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang