32

1.3K 163 2
                                    

Suara angin terdengar seperti bersiul.
Cabang dan daun-daun pepohonan terhuyung
ke arah angin itu meliuk-liuk liar.
Sikapmu padaku pun seperti angin yang ganas itu.
Terlalu berbahaya untuk disambut tanpa waspada.



Laras menyapukan kuas blush on pada pipi kananku. Sudah hampir satu jam dia memoles wajahku, mempraktekkan hasil kursus make up yang diikutinya setelah menikah. Sekarang dia hanya menginap di rumahku ketika Burhan harus bekerja di rumah sakit pada shift malam. Walaupun tidak sering, aku sangat bersyukur dengan keberadaannya yang mengurangi rasa kesepianku.

"Senyum, Mbak. Aku mau poles lipstik."

Dengan gerakan yang halus, dia menyapukan kuas lipstik ke bibirku. Aku mencium wangi vanilla yang enak dari lipstik itu. Laras memasukkan kuas itu pada tabung lipstiknya lalu menutupnya dengan rapat.

"Coba lihat dulu di cermin, Mbak," kata Laras sambil mengangsurkan cermin bulat berdiameter dua puluh sentimeter kepadaku. "Kurang apa? Jujur ya!"

Hasil riasannya bisa dibilang bagus, walaupun belum sebagus hasil riasan Mbak Ninuk ketika meriasku di hari pernikahan Laras. Sambil memiringkan sedikit kepalaku ke kanan dan ke kiri, aku mengamati keseluruhan wajahku. Bedak rata, eyeshadow oke, blush on terlihat natural, dan lipstiknya membuat bibirku terlihat lembab. Tidak kering, dan tidak terlalu mengkilap.

"Kayaknya kamu masih harus belajar bikin alis yang lebih halus, Ras. Yang lainnya sudah bagus menurutku."

"Iya sih, Mbak. Bikin alis susah banget."

Aku berdiri dari kursi yang kududuki sejak satu jam yang lalu. "Bantuin aku ganti baju sekalian ya, Ras."

"Beres. Mau pakai baju apa?"

"Itu," kataku sambil menunjuk knitted dress warna hitam yang tergantung di pintu lemariku.

"Ini?" Laras tampak heran sambil mengangkat hanger yang menggantung dress itu.

"Iya. Kenapa?"

"Malam ini kan pesta perpisahannya Mr. Nilsson. Apa dress ini nggak terlalu sederhana? Pestanya saja di hotel Alana."

"Ini memang untuk acara semi formal kok. Nanti kalau sudah dipakai, cantik lho. Lagipula dress ini baru kupakai sekali. Sayang kalau cuma digantung di lemari."

"Aku pikir dress baru. Kenapa nggak pernah dipakai, Mbak?"

"Sam nggak ngebolehin aku pakai dress itu lagi. Katanya terlalu ketat."

"Ternyata Mas Sam suka ngatur-ngatur urusan begitu ya," ujarnya santai. Dia Mengamati dress itu sekali lagi. "Tapi aku sekarang bingung, Mbak."

"Bingung kenapa?"

"Modelnya ini turtleneck. Nggak ada resletingnya. Seharusnya tadi dipakai sebelum pakai make up. Kalau begini kan bisa ngerusak make up-nya," katanya muram.

Aku tersenyum padanya, "Maaf ya, tadi aku lupa ngomong kalau mau pakai dress ini. Bantuin yuk. Sudah jam setengah tujuh, aku bisa telat lho." Aku mencepol rambutku seadanya di puncak kepalaku supaya aku bisa memakai dress itu dengan mudah.

Dengan bantuan Laras, akhirnya aku berhasil memasukkan kepalaku ke leher dress itu dengan hati-hati tanpa merusak make up di wajahku. Dress rajut yang membalut tubuhku dengan ketat ini ujungnya jatuh tepat di bawah lututku. Ada taburan mutiara berwarna pink yang ukurannya tidak seragam pada bahu dan kerah turtleneck yang menutup leherku dengan sempurna. Aku duduk lagi di kursi tadi untuk memakai sepatu peep toe berwarna pink dengan aksen brokat berpayet di tengahnya. Sepatu ini pun baru sekali kupakai ketika menghadiri pernikahan Mas Bekti. Sepatu yang dilarang Sam untuk kupakai lagi karena ada heels-nya yang setinggi lima sentimeter.

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang