5

2K 158 0
                                    

Dalam dongeng yang berakhir bahagia pun,
sang pangeran harus mati-matian membuktikan cintanya.
Lalu apa yang bisa dilakukan sang putri selain menunggu?


Aku pertama kali bertemu Sam sekitar enam tahun yang lalu. Saat itu aku Masih bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di World Languages atau biasa disebut WL, bimbingan belajar bahasa asing yang didirikan oleh kakak tingkatku. Aku mengajar kelas conversation level advanced dimana sebagian besar muridku berusia dua puluhan dan Sam adalah salah satu dari mereka yang lebih tua dariku. Setelah pertemuan yang ke empat, aku baru tahu kalau ternyata sebelum Sam mengikuti kelas itu, dia sudah lulus TOEFL dengan skor 540. Pantas saja kemampuan berbahasa Inggrisnya paling menonjol di antara teman-teman sekelasnya.

"Kenapa, Miss?" tanya Sam padaku suatu malam di area parkir World Languages.

"Kayaknya ban motor saya bocor ini," aku berjongkok memencet-mencet ban belakang motorku.

"Di pertigaan ada tukang tambal ban, Miss. Biasanya jam segini masih buka."

"Wah, lumayan jauh ya di pertigaan," kataku lalu berdiri.

"Miss, naik motor saya saja. Motor Miss biar saya yang bawa ke tambal ban," Sam mengulurkan kunci motornya.

"Eh, maksudnya gimana? Mas Sam mau jalan kaki nuntun motor saya sampai ke pertigaan?"

"Iya. Nggak usah sungkan, Miss. Saya biasa jalan kaki kok."

Aku melirik Vario hitam milik Sam, "Beneran nih nggak apa-apa?"

"Saya tahu daerah ini terbilang aman, but I just can't let you walk alone. Ijinkanlah saya berbakti pada Bu Guru." Aku tersenyum mendengar jawaban Sam yang terkesan gombal itu.

"Okay then. Thank you for being a gentleman," (Baiklah. Terima kasih ya sudah menjadi lelaki sejati) kataku akhirnya lalu mengambil kunci motor dari tangannya. Sudah pukul setengah sembilan malam waktu itu. Aku terlalu lelah untuk berjalan kaki sejauh tiga ratus meter sambil menuntun motor.

Aku mengendarai motornya dengan pelan agar tetap bersebelahan dengannya yang berjalan sambil menuntun motorku. Aku bersyukur cuaca malam itu cukup bagus, tidak ada angin yang dinginnya menusuk tulang, dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun.

Setelah sampai di tempat tambal ban, Sam tidak langsung pamit pulang. Dia justru pamit sebentar menuju minimarket yang ada di dekat situ. Setelah lima menit berlalu, dia kembali membawa dua botol Aqua dan menyodorkan salah satunya kepadaku.

"Thank you. You are so kind,"(Terima kasih. Kamu baik sekali.) aku tersenyum tulus padanya.

"It's nothing," (Bukan apa-apa kok) ujar Sam yang langsung meminum setengah botol Aqua miliknya.

Aku mengamati Sam yang duduk di sebelahku. Kami tidak pernah duduk sedekat itu di kelas. Biasanya kami duduk berhadapan atau aku berdiri di depan kelas dan dia duduk mengamatiku. Malam itu sungguh berbeda, kami duduk bersebelahan seperti teman dekat.

Aku memang jago membuat topik pembicaraan untuk dibahas di kelas, tapi duduk berdua saja dengannya seperti ini membuatku tidak tahu harus berkata apa. Walaupun Sam aktif di kelas, dia jarang membicarakan dirinya sendiri. Tidak banyak yang aku tahu tentangnya saat itu. Aku hanya tahu kalau dia adalah lulusan Institut Seni Indonesia dan skor TOEFL-nya tinggi. Ya, hanya itu yang aku tahu.

Aku sedikit salah tingkah ketika Sam tiba-tiba menoleh ke arahku sambil tersenyum tipis seolah-olah memergokiku yang mengamatinya dari tadi.

"Kalau mau pulang sekarang, nggak apa-apa, Mas. Saya terima kasih sekali sudah dibantu bawa motor ke sini."

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang