8

1.6K 159 3
                                    

Sulit mengatakan apa yang ada di pikiranku.
Rasa takut ditolak dan dikecewakan lah
yang membuatku memilih untuk diam.
Padahal, semakin lama diam, semakin aku merasa takut.

Hujan turun di Minggu sore ini. Biasanya jalan di depan rumahku ramai anak-anak bermain sepeda atau sekedar kejar-kejaran, tapi hujan membuatnya lengang. Aku duduk di teras sambil membaca The Lucky One-nya Nicholas Sparks. Aku suka sekali dengan bau tanah yang mulai basah tersiram air langit. Suasana begini membuatku semakin terhanyut dengan isi novel yang kubaca. Sesekali aku menyeruput secangkir teh panas yang ada di atas coffee table produksi Nilsson Home yang berhasil kumenangkan lewat lelang karyawan tahun lalu.

"Assalamu'alaikum."

Aku mengalihkan pandanganku dari novel yang kubaca. Sam sudah berdiri di depanku dengan jas hujan yang basah kuyup. Ujung-ujung jas hujan itu meneteskan air yang menggenang di lantai teras. Aku meletakkan novelku di atas meja dan segera membantu Sam melepaskan jas hujannya.

"Aduh, kok hujan-hujanan sih, Yang. Nanti sakit lho," aku menggerutu.

"Kalau ada orang ucap salam, dijawab dulu."

"Eh, iya. Wa'alaikumsalam."

Sam tersenyum. Dia memamerkan tas plastik hitam yang tadi disembunyikannya di balik jas hujan. Setelah menggantung jas hujan Sam, aku masuk ke dalam rumah mengambilkan handuk bersih untuknya. Ketika aku akan kembali ke teras, ternyata Sam sudah duduk santai di sofa tua yang ada di ruang tamu sambil meminum tehku tadi.

"Nih, lap dulu muka sama rambutmu, Yang."

Sam menurut. Diambilnya handuk itu lalu dia mengusap muka dan rambutnya berkali-kali. Aku memperhatikan penampilan santai Sam yang hanya memakai celana cargo pendek hitam selutut dengan kaos oblong hitam bertuliskan Jogja Istimewa, Kamu Juga. Ada noda warna ungu di leher kaos itu, bekas cat minyak yang tidak bisa hilang setelah dicuci berkali-kali. Rambutnya yang sedikit lembab karena hujan dibiarkan begitu saja menjuntai di bahunya.

Aku duduk di sebelahnya dan membuka bungkusan plastik hitam tadi. Ternyata isinya martabak yang masih panas. Makanan kesukaan Sam.

"Kenapa kamu ke sini pas hujan deras begini sih, Yang?"

Sam mengedikkan bahu, "Tiba-tiba pengin makan martabak sama kamu."

Sam mengambil sepotong martabak yang masih panas itu lalu meniup-niupnya. Dikunyahnya martabak itu sambil sesekali dia membuka mulutnya karena martabak itu masih terasa panas di mulutnya. Aku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan itu.

"Mbok yo sabar, Yang. Martabak masih panas kok ya langsung dimakan."

"Yang bikin enak ya ini, sensasi kepanasan ini."

Aku tersenyum lalu mengambil sepotong martabak untukku sendiri. Kugigit sedikit demi sedikit martabak yang masih panas itu. Sambil menikmati martabak itu, dalam hati aku berdoa. Semoga ini saat yang tepat untuk bicara dengan Sam tentang hubungan kami.

"Yang, kamu nggak mau makan sama aku kayak begini setiap hari?"

"Kan kita nggak bisa tiap hari ketemu," jawab Sam sambil mengambil sepotong martabak lagi lalu menggigitnya.

"Tapi kalau bisa, kamu mau?"

"Kan nggak bisa," jawabnya pendek.

Mendengar jawabannya membuatku hilang nafsu makan. Aku meletakkan martabak yang baru separuh kumakan tadi. Kulap tanganku dengan tisu.

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang