19

1.4K 173 0
                                    

Hidupku tidak pernah sepenuhnya menjadi milikku.
Kekecewaan dan kesedihan yang kurasakan
nyatanya melukai orang lain juga.
Kini aku harus membahagiakan diriku
untuk mengobati luka mereka.


Laras mengetuk pintu kamarku yang terbuka. Sepertinya dia baru saja pulang kerja karena dia masih memakai seragamnya. Rambutnya yang lepek karena tertutup jilbab seharian, masih diikat ekor kuda.

"Kok baru pulang? Lembur ya hari ini?" tanyaku sambil meletakkan Men Coblong karya Oka Rusmini yang mulai kubaca sejak satu jam yang lalu.

"Enggak, Mbak. Tadi sekalian mampir ambil pesanan batik buat seragam lamaran."

"Sudah jadi seragamnya?"

"Kalau seragam laki-laki sudah jadi, siap pakai. Tapi untuk yang perempuan, cuma bentuk kain sepanjang dua meter. Biar jahit sendiri-sendiri. Tahu sendiri lah, Mbak. Ibu-ibu lebih ribet kalau urusan baju."

Aku melihat air muka Laras sedikit sedih. "Trus kamu ngapain di sini? Bukannya langsung mandi. Ini sudah jam tujuh malam lho."

"Ibu ada di ruang tamu. Mau ketemu sama Mbak Hayu," katanya pelan.

"Kenapa nggak bilang dari tadi?" aku buru-buru beranjak dari tempat tidur.

Bulik Asmi duduk di sofa yang ada di samping pintu rumahku. Di pangkuannya terdapat tumpukan kain batik yang terbungkus plastik. Aku mencium tangan kanannya lalu duduk di sofa panjang. Laras ikut duduk di sebelahku.

"Sudah pulang kerja dari tadi, Yu?"

"Iya. Bulik mau minum apa?"

"Nggak usah. Bulik cuma sebentar. Habis dari sini Bulik mau beli sate. Paklikmu sudah menunggu di rumah," katanya sambil mengambil satu kain batik yang paling atas dari tumpukan yang ada di pangkuannya. "Ini buat kamu, Yu."

"Nggih, Bulik. Terima kasih."

Bulik kembali mengambil satu kain lagi dari tumpukan paling bawah. "Dan yang ini buat Sam. Ukurannya L kan?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Hatiku seperti tersengat lebah diingatkan lagi tentang Sam. Bagaimana ini? Selama ini aku memang belum pernah cerita kepada Bulik Asmi kalau kami sudah putus sejak sebulan yang lalu.

"Kok bengong tho, Yu. Benar L kan?" tanyanya lagi.

Aku berdeham sebelum menjawabnya, "Saya cukup dikasih kain saja, Bulik. Seragam prianya nggak usah."

"Lho, nanti nggak seragaman sama Sam. Piye tho?"

Aku menoleh kepada Laras yang mukanya memelas. Sepertinya dia tahu betul aku di posisi serba tidak enak, tapi dia tidak bisa melakukan apa pun untuk menolongku.

"Sam nggak akan datang ke acara lamaran Laras, Bulik."

"Kenapa? Kan acaranya masih sebulan lagi."

Aku menelan ludah, "Saya sudah putus sama Sam, Bulik."

Bulik Asmi mengerutkan dahinya. Air mukanya langsung berubah seketika. Lubang hidungnya kembang kempis dan matanya menatapku tajam.

"Sejak kapan?"

"Sebulan yang lalu, Bulik."

Bulik Asmi membanting tumpukan kain yang tadi ada di pangkuannya ke atas meja tamu. Kedua tangannya kini mencengkeram lengan sofa dengan erat. Mukanya berubah kemerahan.

Hush! No Drama AllowedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang