Sugar D 29

3.6K 403 138
                                    

NOTE: PART GAMA SAMA THORIQ GUE JAMIN NGGAK GARING 100%. TAPI, 2-3 PARAGRAF FREDERICK SANDI ITU RADA GARING 50% TAPI PAS MASUK DI PART PARAGRAF BERIKUTNYA ITU 80% OK 20% GARING. ITU NURUT GUE, YA. TAU DEH NURUT LU LU PADA.

GUE PUNYA GANGGUAN KECEMASAN KEK BENJIRO. JADI, SAAT GUE NULIS KETAKUTAN GUE ADA DUA. PERTAMA GUE NGERASA TULISAN GUE JELEK. KEDUA GUE TAKUT TULISAN GUE DIANGGEP JELEK DAN NGGAK DITERIMA. MUNGKIN ITU SALAH SATU SEBAB TULISAN GUE RADA GARING.

----- 🌟 ----- 🌟 ----- 🌟 ----- 🌟 ----- 🌟 -----

Gelebah hati ia terasa. Perbuatan durjana tiada ia disiram lara. Dari sumringah berubah sendu. Dari tawa berubah pilu. Tiada rasa malu pada diri ia, berdiri di depan pintu, berharap dipersilahkan masuk. Jahat, tidak tau diri, dan tidak tau malu. Terserah tiap hati bagaimana mengira. Terserah tiap pasang mata bagaimana melihat. Gama tak perduli. Diri ia sendiri mana tau. Cuma mengikuti ke mana arah hati dan kaki menuju. Sungguh! Sungguh! Cuma Ginanjar saja tempat mengadu. Lalu, di mana Jodi dan Sandi berada? Padahal mereka adalah sahabat lama. Ginanjar? Orang baru itu mulai mengusik kesetiaan rasa dalam dada. Tidak! Tidak! Gama tidak sedang berkhianat. Semua ini terjadi seolah tanpa sadar dan di luar kendali.

"Ginan lagi di dapur. Biasa, dia lagi masak. Monggo, silahkan masuk,“ ucap Faridah bernada ramah. Gama pun melangkahkan kaki masuk ke dalam. Perasaan macam apa ini? Heh, jangan ampe gue nangis di sini, batin Gama. Pedih terasa memang, tetapi ia harus tahan sebentar. Benar. Sebentar saja. Gama mematung. Perasaan aneh seperti ingin mendekap erat ia pun muncul di hati. Dua mata Gama tiada lepas daripada memandangi sosok pria dengan kaki palsu di sebelah kiri—pun alat bantu dengar di telinga sebelah kanan. Farida terenyuh melihat bagaimana cara Gama menatap sang putera dengan tatapan nan dalam dan penuh harap.

“Susul Ginan, gih. Tante nggak bakal ganggu kalian, kok,“ ucap Farida diiringi senyuman penuh arti sembari mengusap pundak Gama dengan lembut, lalu pergi. Ucapan Farida barusan terdengar biasa saja, tetapi saat ia mencoba mencerna lebih dalam lagi, ucapan itu seolah memiliki arti mendalam. Farida memandangi Gama dari jauh. Tatapan iba dari sorot mata ia sangatlah ketara. “Gama, kamu rapuh banget, nak,“ gumam Farida. Sebagai seorang ibu, tentu ia mampu rasa bagaimana hati itu lara. Farida percaya; Ginan pasti mampu membantu lara itu sirna berganti bahagia. Semoga, batin Farida.

Gama mencoba memberanikan diri membuat kaki ini melangkah maju ke depan. Satu dua meter dari Ginanjar; ia berdiri; menunggu raga itu mendekap—atau ialah yang mendekap lebih dulu? “Om,“ gumam Gama dengan suara bergetar. Ginanjar menoleh. Ia terkejut. Ia pun segera mematikan kompor yang tengah menyala itu. “Gama?“ seru Ginanjar, lalu menghampiri. “Om,“ gumam Gama. Oh, sungguh diri ini tiada lagi mampu menahan bendungan bulir mutiara di pelupuk mata. Sehingga luruh tanpa diminta. Hancurlah sudah pertahanan diri, membiarkan malu merata di atas sepi.

“Gama, kamu kenapa nangis? Hm?“ tanya Ginanjar cemas. Gama cuma bisa menggelengkan kepala tidak mengerti. Bodoh. Gama sudah terlanjur berlinang air mata. Pasti lidah ia sangatlah terasa kelu. Sehingga tak mampu lagi tuk berkata-kata. Sebuah harapan, ketenangan, dan kedamaian seolah mampu ia rasa cuma dari dekap hangat ia di tubuh ini. Ginanjar, mendekap tubuh itu sembari mengusap-usap punggung ia sayang. “Udah, om ada di sini buat kamu, Gama. Tenang, om bakalan temenin kamu, om nggak akan biarin kamu nangis sendirian. Nangis aja di pundak om sesuka hati kamu ampe kamu ngerasa lega,“ ucap Ginanjar.

Saat dirasa gejolak di hati mulai mereda. Gama melonggarkan dekapan ia sedikit sembari menatap Ginanjar lamat-lamat. “Om pa-papa ma-ma,“ gumam Gama masih sesenggukan. Ginanjar pun tersenyum. Ia usap air mata pilu yang telah membasahi pipi. Gama pasti sedang dirundung masalah. Perubahan emosi ia yang begini, dan memilih berlari serta menggenggam tangan Ginanjar. Oh, betapa Ginanjar sangat tersentuh. Ginanjar jadi ikut merasa perih, tetapi berusaha tuk tersenyum, meskipun berat. “Om di sini, Gama. Inget, om ada di sini, di hadapan kamu, om bakalan hapus air mata kamu,“ ucap Ginanjar.

Sugar D [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang