Tirta amarta selalu memiliki sahmura sebagai hiasannya. Diinjak buminya amat dingin terasa. Bak berjalan di atas bongkahan es batu. Hanya pengelana yang tangguhlah yang dapat melewatinya. Pengelana yang katanya pantang mundur itu pun seakan tak merasakan apa-apa, sebab yang ia lihat hanyalah asa yang ia susun rapi dalam angannya yang kan ia wujudkan selangkah demi selangkah. Pengelana itu menganggap, bahwa cinta merupakan dunianya yang harus ia perjuangkan sampai akhir.
Sigit pun turun dari mobil, dan menginjak bumi yang di atasnya dihiasi oleh rumput-rumput nan hijau lagi terawat. Sigit tak sendiri, melainkan bersama sahmuranya yang selalu dinanti. Dia melengos dan melangkahkan tatinpa lebih dulu untup mendahului Sigit menuju pintu. Terlalu banyak hal yang telah terjadi sehingga membuatnya malas untuk berbicara barang sepatah kata pun lagi. Dia mengetuk pintunya beberapa kali alih-alih memencet bel yang terdapat di bagian samping kiri atas. Pintu pun terbuka dan tampaklah sosok remaja tujuh belas tahun-an yang mempunyai kelopak mata yang sipit—juga berkulit putih bersih.
“Silahkan masuk, bang,“ ucap Sandi.
Jiddan pun masuk ke dalam setelah dipersilahkan masuk, lalu diikuti oleh Sigit dari belakang. Sebelum benar-benar masuk ke dalam; Jiddan melepas sepatunya terlebih dahulu, barulah ia memakai sandal khusus yang telah disediakan secara khusus oleh tuan rumah untuk para tamu. “Om Sigit?“ gumam Sandi tuk memastikan jikalau pria di hadapannya ini ialah Sigit Pinanggih, sebab Frederick berpesan kepada dirinya agar meminta Sigit untuk segera menemuinya ke ruang kerja sesaat setelah tiba nanti. Sandi enggan berpikir macam-macam mengenai Sigit. Bukankah setiap orang selalu mempunyai dua sisi: baik dan buruk yang sangat berseberangan?
“Hm,“ sahut Sigit.
Sigit nampaknya mengerti dengan baik jikalau saat ini bukanlah saat yang pas untuk bersenda gurau antara satu dan yang lainnya. Semua orang terlihat serius termasuk Sandi sendiri. “Mas Erick minta Om Sigit langsung ke ruang kerjanya aja,“ ucap Sandi. Sigit pun segera menuju ruang kerja Frederick, dan menyisakan dua orang pemuda: Jiddan dan Sandi. Sandi agak sedikit canggung, dan bingung. Bukan karna benci atau apa pun, melainkan perasaan yang kurang akrablah yang membuatnya demikian.
“Uhm, gue boleh minta tolong nggak, bang?“ tanya Sandi.
“Minta tolong apaan emang?“ Jiddan balik bertanya.
“Gue pengen bersih-bersih, tapi kompor masih nyala. Soalnya gue lagi bikin sup udang. Gue minta tolong lu liatin masakan gue ampe mateng, ya? Sekitar lima menitan lagi keknya,“ sahut Sandi.
Jiddan pun mengiyakannya dengan anggukan kepala sebagai jawabannya.
Sigit pun memasuki sangkar yang di dalamnya terdapat seorang raja yang tengah duduk di singgasananya. Dia sama sekali tak memakai jubah kebesarannya, tetapi stelan rumahan nan sederhana serta jauh dari kata mewah seperti kaos biru malam dan celana training hitam—pun tetap membuat dirinya terlihat sangat berwibawa. Frederick Stephen Surjadi? Dia memiliki aura yang tak sembarang orang dapat memilikinya. Sorot matanya bak elang emas. Begitu tajam. Dia seakan mampu membuat nyali orang lain menciut hanya dengan tatapannya tersebut.
Frederick pun mempersiapkannya duduk di kursi. Sungguh kilatan mata yang bagaikan lautan tanpa ombak. Begitu datar. Jangan pernah tertipu oleh ketenangannya yang nampak biasa saja, namun sebenarnya beracun. “Soal kamu dan Jiddan, saya bakal ngesampingin hal itu dulu, karna ini ruang kerja untuk kerja bukan ngebahas masalah pribadi.“ ucap Frederick. Frederick pun memberikan map mengenai detail penjelasan akan tugas seorang General Manager di perusahaannya beserta lampiran gaji dan bonus tiap bulannya.
“Coba kamu baca pelan-pelan,“ ucap Frederick bernada dingin.
Frederick hanya tidak ingin terlalu banyak basa basi saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar D [BL]
RomanceBercerita tentang percintaan seorang pria ber-usia 47 tahun dengan seorang pelajar ber-usia 17 tahun. Cerita ini ditulis berdasarkan imajinasi penulis aja. Jadi, se-umpama alur cerita ini kurang berkenan di hati pembaca, boleh skip, dan jangan komen...