Sugar D 32

3.5K 316 106
                                    

NOTE: 85% OK & 15% GARING. JUDUL SUGAR B [BL] MUNGKIN NGGAK SEROMANTIS SUGAR D [BL], KARNA MEMANG GUE MO FOKUS KE MASALAH PSIKOLOGIS.

----- 🌟 ----- 🌟 ----- 🌟 ----- 🌟 ----- 🌟 -----

Dusun Semilir adalah tujuan destinasi ia bersama sang kuda besi sore hari ini, tetapi hujan deras membasahi bumi tanpa henti. Siapalah ia berani memaki hujan? Hujan itu rahmat dari Tuhan, bukan? Jujur sampai saat ini—pun Nino masih belum mengerti; mengapa ia teringin liburan seorang diri di sini, di Semarang. Nino memandang keluar dinding kaca di cafe itu. Dua orang pria terlihat sedang berdiri di luar sana sambil berkacak pinggang menggerutu kesal—apalagi kalau bukan soal hujan. Hujan tiada bersalah, tetapi seringkali kehadiran ia disalahkan oleh sebagian besar manusia hingga membuat para pejuang menara gading atau pengembara nafkah itu mengeluarkan sumpah serapah dari bibir ia.

Sudah dua puluh menit; ia sendiri di sini; ditemani secangkir teh hijau hangat. Sebuah rasa ini tiada jua menepi. Ia gusar mencari seribu satu alasan itu bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Coba jalan aja lah, batin Nino—pun langkah kaki ia tiba-tiba terhenti tepat di depan pintu masuk cafe tersebut. Ia termangu; menatap sendu pada seorang pria bermasker abu-abu dan berhodie putih. Dia juga tidak kalah terkejut dari Nino. “Pak Ghifari?“ gumam Nino. Bagaimana ia bisa tau? Entahlah. Tiap manusia di bumi ini memang dapat menutup wajah ia dengan seribu lapis kain sekali—pun sehingga tiada siapapun yang mampu mengenali, tetapi tidak bagi Nino, karna sorot mata adalah satu-satunya cara tuk mengenali seseorang.

Ia berdiri sangat lama; memandangi ia, Ghifari. “Permisi,“ seru seseorang ingin melalui pintu itu, tetapi dihalangi oleh dua tubuh pria dengan tinggi badan yang hampir sama. Nino pun menggeser tubuh ia sedikit. Nino juga sempat mendengar desas-desus tentang Ghifari—yang katanya; dia sedang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit, tetapi dia terlihat sangat sehat sekali. Jadi, apa? Dia berbohong? Buat apa?, batin Nino bertanya-tanya. Ghifari menghela nafas, lalu berjalan begitu saja sembari menurunkan masker saat ia tiba di meja barista. “Banana Split Frappuccino,“ ucap Ghifari.

Ghifari pun duduk di salah satu meja diikuti oleh Nino. “Udah sembuh?“ cetus Nino membuat Ghifari tertohok. Ghifari menatap Nino dengan tatapan sebal. “Jangan suka ikut campur masalah orang lain.“ sahut Ghifari dingin—pun membuang muka. Entah bagaimana kabar Eliza sekarang. Tiada lagi kaki ini melangkah tuk menemui ia, sang pujaan hati, dan kini status ia di hati Ghifari telah berubah menjadi sekuntum bunga daphne. Begitu beracun, meskipun dia terlihat sangat cantik, putih, dan suci.

Pias mata ia menatap sendu pada hujan di luar sana. Siapa bilang? Hujan itu lambang dari sebuah romantisme dalam bercinta? Bohong! Dusta! Itu cuma ilusi orang-orang—yang dalam belenggu cinta buta belaka. Tanpa ia sadari. Ia sedang memenjarakan diri sendiri. Dia bagai besi baja di luar, tetapi bagai ranting nan rapuh dan mudah patah di dalam. “Dusun Semilir..,“ gumam Nino. Ghifari pun menoleh. “Pergi ke sana bareng, yuk, pak?“ ucap Nino tersenyum sembari menggenggam tangan Ghifari. Ghifari menatap nanar genggaman tangan dia, lalu menatap dua mata dia. “Tolong temenin saya keliling Semarang beberapa hari ke depan, ya, pak?“ ucap Pino lagi. Ghifari cuma diam seribu bahasa—pun tiada sepatah kata pun terucap dari bibir.

Sore hari terasa sangat teduh. Tiga gelas teh chamomile pun tersaji di atas meja. Panca dan Farida juga ada di dapur—pun berhadapan langsung dengan tanah lapang nan hijau. Begitu asri dan indah dipandang mata. Farida menghirup aroma chamomile nan harum dari asap—yang mengepul dari gelas. Begitu harum hingga membuat si teh chamomile ini sangat serasi dengan sepoi-sepoi angin sore. “Jaman dulu, jaman Mesir Kuno, teh chamomile itu buat ngeredain migrain. Di Jepang, dia jadi taneman obat,“ gumam Panca menghirup aroma teh itu terlebih dahulu, lalu ia minum satu hingga dua tegukan. Ia tatap dalam-dalam wajah sang putera, lalu berkata, “Dan papa rasa; Ginan udah nemuin obat itu buat redain migrain dia.“.

Sugar D [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang