Sugar D 31

3.5K 357 93
                                    

Tangan ia emas. Tangan ia berlian. Tangan ia permata. Sebuah asa nan pasti berada pada tangan ia hangat digenggam. Tiada dusta di muara ataupun dalam gua hati berbatu granit dari kuarsa dan feldspar. Saat tangan meraba; dia memang terasa kasar di permukaan, tetapi dia mahal. Dengar! Dia itu mahal! Dia berdiri di atas ketidaksempurnaan fisik. Dia berjalan di atas tatapan hina para pencaci. Siapa tau? Dia adalah pebisnis dengan omset miliaran! Orang-orang selalu saja membiarkan mata sendiri buta; melihat satu sisi; tanpa mau melihat sisi lain nan berharga.

Suasana rumah terlihat sepi sesaat setelah Gama menuruni anak tangga. Terciumlah aroma sedap dari dapur. Pasti Om Ginan lagi masak?, batin Gama. Benar saja. Dia seperti sedang menata sesuatu di atas piring. Gama berdiri sebentar; jauh dari pandangan Ginanjar; menatap Ginanjar dalam diam berselimut rasa manis nan legit. Oh, perasaan macam apa ini? Hati ini terus-menerus memanggil nama ia tanpa henti. Gama melihat; Ginanjar terlihat risih akan poni ia—yang terus menutupi mata, dan menjadi coba menepis itu dengan satu tangan.

Sejurus kemudian; Gama pun menghampiri Ginanjar, dan langsung menyentuh poni ia, dan mengikatnya dengan elastic hair tie. Ginanjar terkesiap. Tatapan termangu ia berubah menjadi tatapan nan hangat. Ia tertegun. “Om lagi bikinin kamu bento buat makan siang kamu nanti di sekolah, Gama,“ ucap Ginanjar gugup. “Beneran buat aku?“ tanya Gama—pun sama-sama gugup. Dua pasang mata itu masih saling tatap menatap satu sama lain—pun tiada teralihkan. “Tenang aja, buat sarapan kamu juga ada, kok,“ sahut Ginanjar. Suasana jadi hening; degup jantung mereka seolah menjadi satu-satunya suara yang terdengar saat ini.

Dalam diri Gama seperti terdapat ribuan massa memberontak ingin segera dibebaskan. Dari mata, hidung, sampai bibir. Semua itu seolah membuat jiwa ia terguncang hebat. Ia menelan ludah. Bibir itu sangat menarik perhatian Gama. Sudahlah. Ia sudah tidak tahan lagi. Cup. Ia pun mengecup bibir Ginanjar sekilas tanpa alasan jelas. Tubuh ini seolah bergerak sendiri tanpa diminta—pun tanpa diri ia bisa mengontrol. Ia sudah hilang kendali. “Uhm, a-aku mau makan dulu,“ ucap Gama deg-degan. Ia pun langsung duduk manis di bangku sedangkan Ginanjar mematung karna terkejut, tidak percaya pada apa yang telah dilakukan oleh Gama barusan.

Hidung dan mata ia begitu mirip sekali dengan Frederick. Tinggi badan ia juga hampir menyamai Frederick. Hm, sekitar 180cm mungkin? “Jiddan?“ gumam Frederick. Dia sangat putih persis seperti Garini. “Kita ngobrol di dalem aja. Nggak enak diliatin orang, Jiddan,“ ucap Frederick kemudian. Jiddan tersenyum kecut. “Bilang aja kalo papa malu. Cih!“ sahut Jiddan. Dia berdecih kesal. “Papa sama sekali nggak malu. Justru kamu,“ ucap Frederick lagi. Jiddan benar-benar seperti jelmaan masa muda Frederick. Semua orang memberi salam pada Frederick saat ia mulai membelah ramainya para staff serta karyawan yang berdatangan.

Bibir-bibir beracun itu mulai menebar bisa ia dari bibir ke bibir. Lupa siapa yang dicibir. Lupa siapa yang dicaci. Lupa siapa yang dihina. Dua alis Frederick berkerut. “Pecat siapa aja yang berani sebarin rumor aneh di kantor.“ ucap Frederick bernada dingin pada Nino. “Baik, pak,“ sahut Nino. Siapa gerangan pemuda di belakang Frederick itu? Dia keliatan mirip banget sama Frederick, batin Nino. Dua bola mata Jiddan terus berpendar. Dari ruang kantor Frederick saja terlihat jikalau Frederick memanglah bukan orang biasa. Harta? Tahta? Jabatan? Cih! Siapa bilang itu adalah tujuan ia menemui Frederick?

“Hari ini rapat diundur.“ ucap Frederick di telepon.

Buah hati ia telah mencari; bertemu setelah ribuan purnama dan musim. Sebuah jalan baru menuju bahagia mulai terbuka lebar. Entah, tetapi di sisi lain juga terdapat jalan terjal dan berbatu. Garini, maaf, aku nggak sebodoh yang kamu pikir, batin Frederick. Frederick bukan lagi anak kecil, mudah dibodohi, apalagi dihasut. Bergelut di dunia bisnis selama lebih dari dua puluh tahun. Dia pasti sudah memahami taktik serta karakter para musuh dan lawan dalam bersaing memperebutkan posisi teratas. Garini? Heh, dia rela menjadikan kepolosan ia sebagai tameng, dan Jiddan sebagai meriam untuk menembak Frederick kapan saja. Tega sekali dia, batin Frederick.

Sugar D [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang