Sugar D 72

2.2K 82 41
                                    

Seandainya buana berkabut yang ia tinggali ini ialah khayal yang tak bertepi; pasti tiadalah luka di relung hati. Hujan telah menghancurkan segumpal daging yang malang. Petir yang menyambar telah memutuskan tali baja yang senantiasa erat mengikat. Di antara dua pegunungan terdapat hutan yang mengering oleh kemarau panjang. Gersang! Jodi menjelajahi hutan yang luasnya tak terkira hampir tanpa lentera.

Di tangan yang ringkih ia memegang obor yang pantulan cahayanya tak seberapa. Dua tunggulnya yang linu—pun berkali-kali terjebak ke dalam lumpur yang sembab. Di manakah kiranya ia mampu beristirahat sejenak setelahi berhasil melalui danau demi danau serta membantai ikan demi ikan yang menari-nari? Satu kata yang ang pantas tuk menggambarkan tentangnya kini ialah letih! Di penghujung sana terdapat rumah kayu yang artistik. Di tengah-tengah hutan? Sungguh binasalah ia jika mendekat! Sebab petuah kampung berkata, jauhilah rumah payu jati yang ada di tengah-tengah hutan berduri.

”Jodi?”

Suaranya membuyarkan seluruh khayal—yang ia bangun dari kepingan luka yang ada. Bodohnya ia baru menyadari jikalau dirinya pun masih berada di rumah orang lain. Dasar taj tau diri! Jodi merutuki dirinya yang seolah-olah tak menghiraukan dia yang malam itu telah menjadi ksatria.

”Uhm..,”

Gumamannya yang terdengar begitu lemah ku membuat kedua alis pria itu beroerut. Dia menaruh gelasnya sejenak sebelum berbicara. Jodi merasa seperti dirinya seakan-akan sedang diadili. Jodi menundukkan kepalanya yang membuat raut wajah pria itu langsung berubah seketika. ”Tegakin kepala kamu, Jod,” pintanya. Uh, apa ini? Suaranya mendadak terdengar sangat dingin! Jodi pun berpura-pura tuli. ”Kamu mau begini terus?” ucapnya lagi. Jodi masih menunduk sendu.

Jodi pun perlahan-lahan menegakkan kepalanya dan memberanikan diri tuk beradu pandang dengannya.

”Sebenarnya kenapa om baik banget ke aku?”

”Jod.. kita nggak harus punya alesan tertentu untuk berbuat baik ke orang lain, karna mempertanyakan kebaikan orang lain ke kita itu sama aja nyakitin diri kita sendiri. Kamu bakalan sulit ngehargain orang lain termasuk diri kamu sendiri.”

Dua maniknya berkaca-kaca usai mendengar sekelumit kata. Berusaha untuk baik-baik saja pun sia-sia jua. Ibarat kaca yang retak; hancurlah ia berkeping-keping lupa. Ke manakah raga menuntun jiwa yang lara untuk sekedar berteduh dari teriknya mentari di siang hari? ”Semakin kamu nunjukin betapa rapuhnya kamu di mata mereka, semakin mudah bagi mereka buat nginjek kamu, Jod. Tunjukin ke mereka, bahwa tanpa mereka sekalipun kamu bisa berdiri,” Hilman pun bangkit usai memberi sedikit petuah kepada pemuda di hadapannya.

Jodi otomatis mendongakkan kepalanya yang di mana sorot matanya seakan-akan bertanya-tanya, ke manakah gerangan sosok Hilman akan pergi? Hilman tentu mengerti apa arti dari tatapannya itu. ”Om berangkat kerja dulu,” ucap Hilman. Entah mengapa terdapat secercah rasa takut begitu mendengar dirinya akan ditinggal sendirian di rumah se-besar ini. Bukan jenis rasa takut akan sosok makhluk astral—yang katanya amat sangat mengerikan itu, melainkan rasa takut ditinggalkan secara tiba-tiba se-bagaimana dahulu ia ditinggalkan Beno.

”Om pulang jam 5 sore. Kamu tunggu di rumah. Jangan ke mana-mana. Kalo nggak ada urusaan penting, om bakalan pulang lebih cepet,” ucap Hilman.

Segara yang tak terhingga luasnya pun berganti sepi. Gema rintihan hati di puncak api—pun berkobar sendiri; membakar sebagian jiwa yang perlahan mati. Jodi benci menanti, sebab kesendirian bagai gonggongan anjing di kala sepi. Punggungnya mulai menjauh diiringi gemuruh rasa takut yang mulai menjadi dalam diri. Jodi pun membenamkan wajahnya di atas meja; mencoba tuk merengkuh sebagai tubuhnya yang lara.

Sebilah pena bergerak lincah di atas lembaran putih. Sang pemilik pena pun berhenti menggerakkan penanya sejenak usai kedua telinga ia mendengar sesuatu yang dirasa agak janggal. Percakapan antara dua orang yang terdengar dari benda persegi itu—pun membuat kedua alisnya saling bertautan. Igo berencana berkunjung ke rumah Thoriq? Begitulah isi percakapan yang ia dengar setelah diam-diam menyadap ponsel milik Igo. Triangga bukanlah pria yang posesif atau pria yang memiliki kepercayaan yang tipis bak se-tipis tisu. Bukan jua bermaksud tuk masuk ke dalam privasi hidup orang lain dengan tujuan tuk menghancurkan kehidupannya perlahan-lahan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sugar D [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang