“Dulu aku pernah menyakitimu, dan sekarang aku datang kepadamu lagi dengan sejuta kekurangan yang aku miliki.“
— Beno Septianto —
Suara ia seindah kicauan burung di pagi hari—lagi dinanti. Tiap deru suara motor nan nyaring menyentuh indera pendengarannya—pun membuat kedua kakinya bergerak menggebu-gebu menuju pintu, lalu ia buka bersama lengkungan bibir nan lebar. Bilamana ia berdiri di hadapan; pelukan menjadi pakaian kerinduan. Tak lupa sebuah kecupan menjadi pemanis di sela pahitnya rasa letih setelah seharian bekerja. Dunia serasa milik berdua? Sudah pasti begitu adanya!
Dulu! Itu dulu! Sebelum semuanya berubah dan menjadi asing. Suara indahnya tak lagi dinanti-nanti. Deru suara motornya pun tak lagi membuat kedua kakinya bergerak menggebu-gebu. Jodi gamang. Perasaan yang tak lagi sama rasanya begitu menyiksa. Sungguh bertahan di atas batu kerikil tanpa alas kaki rasanya menusuk-nusuk—pun tersisa luka dan derita. Bukankah bahagia adalah satu-satunya tujuan bagi mereka yang saling mencinta?
Beritahu aku apakah seseorang bisa bertahan di balik dusta yang terus menjadi ubin di hubungan antar dua hati? Jodi telah mengetahui semuanya! Selama ini dia yang dianggap cinta—pun memanfaatkan orang tuanya tuk berdusta tuk mencuri-curi kesempatan agar dapat menyatukan dua hati yang dulunya berpisah raga. “Gue ga bakal ketipu buat yang ke sekian kalinya.“ Jodi berkata dengan nada dingin. Di kedua matanya cinta telah tiada—pun berganti dengan kilatan benci.
Tempat berpijak pun menjadi dingin seakan ia menggambarkan hubungan keduanya yang tak lagi sehangat dulu. Beno berdiri tepat di depan pintu kamar; bermaksud mencegah separuh jiwanya pergi. “Abang ga ngijinin kamu pergi ke mana-mana,“ ucap Beno. Jodi tersenyum pahit. “Lu ga berhak cegah gue,“ Jodi berucap sembari meletakkan jari telunjuknya di pundak Beno seakan-akan ingin menegaskan, bahwa Beno sama sekali tak memiliki kuasa apapun atas dirinya. Beno menelan ludah.
“Jod? Kita coba obrolin baik-baik. Kalo kamu kek gini terus gimana masalah tita bisa—“
“Lu ga perlu jelasin apa-apa, karna semuanya udah jelas. Gue udah bilang dari sejak gue pertama kenal ama lu. Kalo gue benci diboongin. Seandainya lu ngelakuin seribu kesahalan apa pun itu mungkin gue bisa maafin lu, tapi kalo kepercayaan yang gue kasih malah dirusak kek gini. Maaf, bang. Gue ga bisa maafin siapapun itu termasuk lu.“
“Jod! Jodi!“
Bukankah murninya sebuah kepercayaan itu layaknya benang sutra yang halus? Dia bernilai tinggi—pun tak sembarang orang dapat memiliki. Tak hanya sekali, tetapi berkali-kali, bahkan kedua orang tuanya pun ikut andil menebar dusta berkedok tuk menjaga silaturahmi antar dua keluarga. Tak hanya itu. Sungguh! Jodi mencoba tuk memperbaiki apapun yang dulunya sempat putus; merenggang oleh keadaan yang ia tak pernah mendapatkan penjelasan apapun, tetapi apa balasannya? Pengkhianatan!
Jodi tak ingin dibodohi untuk ke sekian kalinya dan karna itulah ia mempertanyakan maksud dari keluarga Beno yang nampaknya ingin menyegerakan pernikahan sesegera mungkin. Buat apa? Jodi merasa janggal sehingga ia pun bertanya-tanya. Ketika ia merasa di titik yang di mana hatinya amat bergejolak—pun berkata, “Bu, Pak, maaf.. Aku ga bisa ngelanjutin pernikahan ini,“. Sontak perkataannya itu pun membuat kedua orang tuanya berang. Hubungan orang tua dan anak pun merenggang sampai sekarang. Jodi tak mengerti. Siapakah yang bersalah sebenarnya? Bahkan kedua orang tuanya: Catur dan Gita mengetahui fakta, bahwa Beno pernah masuk bui, karna obat-obatan terlarang.
Hujan?
Tangan ia menengadah hujan, sementara mata ia menatap langit. Pergi sejenak dari pengapnya rumah—yang tak lagi hangat—pun rasanya sedikit menenangkan, meski pikirannya berkecamuk. Jodi membiarkan seluruh tubuh ia basah kuyup. Ke mana ia harus mengadu? Jodi tak memiliki siapa pun tuk sekedar berbagi bahu tuk bersandar. Tiba-tiba seseorang datang; memayungkan dirinya yang berdiri di bawah derasnya hujan seperti orang bodoh. Jodi pun menoleh. Dia adalah sosok pria yang tak lagi muda, namun memiliki garis wajah yang tegas dan awet muda. Siapa? Jodi bertanya-tanya. Pria itu membisu; menatap dirinya hampir tak berkedip sama sekali. Pria itu bingung, ini sudah kedua kalinya ia menjumpai remaja yang sedang patah hati. Dia tak perlu bertanya. Pasti dugaannya memang benar adanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar D [BL]
Любовные романыBercerita tentang percintaan seorang pria ber-usia 47 tahun dengan seorang pelajar ber-usia 17 tahun. Cerita ini ditulis berdasarkan imajinasi penulis aja. Jadi, se-umpama alur cerita ini kurang berkenan di hati pembaca, boleh skip, dan jangan komen...