Air mataku langsung tumpah begitu aku menampar Dewa. Tidak seharusnya dia berbuat seperti itu. Aku seperti wanita murahan yang mau dicium oleh laki-laki beristri.
Aku berlari meninggalkan Dewa. Tak peduli tatapan aneh orang-orang yang berada di loby. Aku hanya ingin menjauh dari Dewa.
Tristan yang berada di parkiran bingung melihatku menangis. Dia langsung menarikku kedalam pelukannya. Aku menangis tersedu-sedu dipelukan Tristan. Dan Tristan terus menenangkanku.
"Sst...Sudah sudah" Ucapnya sambil mengusap pelan kepalaku. Lalu menggiringku untuk masuk kedalam mobil.
Aku masih menangis. Dan Tristan kembali memelukku. Aku mengeluarkan semua sesak yang aku rasakan belakangan ini. Setelah bertemu dengan Dewa, aku malah semakin hancur.
Kenapa Tuhan mempertemukan kita disaat Dewa sudah menjadi milik orang lain? Kenapa rasa cintaku kepada Dewa sangat besar ? Kenapa aku tidak bisa melupakannya?
Ini tidak adil. Dia dengan mudahnya sudah memulai hidup baru. Dia sudah berkeluarga. Lalu apalagi yang aku harapkan?
Tangisanku mulai mereda. Tristan melonggarkan pelukannya dan mengusap pipiku dengan ibu jarinya.
"Kenapa?" Tanyanya.
Aku hanya menggelengkan kepala. Tidak siap untuk bercerita kepada Tristan. Aku malu.
"Oke. Kita makan aja ya. Habis nangis gitu pasti laper"
Aku hanya mengangguk. Tristan mengusap kepalaku lagi dan mulai menjalankan mobil.
"Ice cream?" Tanya Tristan kepadaku.
"Mauuuu" Aku menjawab dengan memberikan cengiran sebahagia mungkin.
"Sudah. Jangan terlalu dipaksa. Ketawamu jadi aneh"
Aku memukul lengan Tristan. Dia hanya tertawa.
"Aku kan mencoba bahagia" Ucapku sambil memeletkan lidah kepadanya.
Sesampainya di restauran, Tristan memesankan banyak makanan untukku dan dirinya sendiri. Untuk seorang dokter, menu makannya sangat mengerikan. Bukan banyak. Tapi pilihan menunya yang aneh-aneh. Seakan tidak takut akan kolesterol atau apapun itu.
Kami mengobrol banyak hal sambil menunggu makanan kami datang. Tristan bercerita banyak tentang pengalaman koasnya beberapa tahun lalu di pelosok daerah. Dia benar-benar membuatku mengalihkan pikiran dari Dewa.
Tristan juga tidak pernah bertanya lagi kenapa aku menangis. Bahkan sampai selesai makanpun, dia tidak membahas hal itu lagi.
Aku sempat menelpon Kevin untuk meminta izin tidak kembali lagi ke kantor setelah jam istirahat. Aku bilang kepadanya, perutku sakit lagi. Dan dia, mengoceh hampir lima menit. Ludes pulsaku.
"Mau langsung pulang?"
"Iya. Aku pengen istirahat" Jawabku.
----
Pintu apartemenku diketuk berkali-kali. Aku dengan jengkel melangkah kedepan untuk membuka pintu.
Klek.
"Dita"
Aku langsung menutup pintuku. Tapi kalah cepat. Tangannya mampu menahan pintu yang akan kututup. Percuma juga aku memaksa, dia laki-laki dan pasti lebih kuat untuk urusan dorong-mendorong pintu.
Aku mengalah. Mataku menatap wajahnya tajam. Marah, terhina dan sakit hati menjadi satu.
"Saya minta maaf"
"Saya maafkan. Silahkan pergi Pak Dewa, maaf saya tidak ingin diganggu" Tentu saja aku bohong. Aku belum memaafkannya. Aku hanya tidak ingin Dewa berlama-lama disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Love
RomanceAnindita Pramesthi, 27 Tahun. Single dan gagal move on. Bertemu dengan Dewara Adam Wicaksana, pengacara sukses yang selalu Ia hindari.