"Dit, i wanna talk". Ujarnya.
"Apa?"
"Nggak disini. Ikut saya". Dewa berjalan menaiki tangga. Aku mengikutinya sambil melihat dinding tangga yang banyak sekali terdapat foto-foto. Tatapanku berhenti pada sebuah foto yang didalamnya terdapat dua anak laki-laki sedang memakai topi. Yang satu terlihat lebih tinggi, dan satunya masih kecil...tersenyum lebar menampilkan giginya yang ompong. Seketika tawaku pecah. Oh my. Ini Dewa waktu kecil, dan yang tinggi itu pasti mas Yuda.
"Udah puas ketawanya?" Tanyanya sinis. Hih mengganggu kesenangan orang saja. Aku mengangguk tapi masih menahan tawa.
"Itu beneran kamu ya?" Tanyaku masih dengan menahan tawa. Dia hanya mendelik lalu bergumam pelan.
"Kamu udah pernah liat". Aku mendengarnya. Oke. Mungkin dulu aku pernah melihatnya.
"Kita kemana sih? Kok keatas? Itu kan kamar-kamar?"
"Mau nekdungin kamu". Dewa kemudian berbalik dan memamerkan seringainya kepadaku. Aku mendelik. Aku pukul saja lengannya biar tahu rasa.
"Awwww"
"Sukurin!"
Dewa membuka sebuah pintu kaca yang lebar. Setelahnya aku dibuat terkagum. Ini balkon. Tempat duduknya mengarah ke taman kota, dengan pemandangan lampu-lampu yang indah. Suasananya sangat tenang.
"Sini". Ucapnya sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Kursinya lebar dan panjang. Aku bisa bahkan bisa tidur disini.
"Kamu mau ngomong apa sih?"
"Apa kabar?" Aku memutar bola mataku. Hastagah. Orang ini! Aku baik-baik saja. Apa diatidak tahu , aku bahkan bisa tertawa lepas?
"Kamu lagi sakit ya?"
"Enggak". Aku mencebik kesal.
"To the point aja deh..."
"Apa yang kamu rasain sekarang, Dit?" Tanyanya.
"Saya laper".
"Heh bukan itu. Perasaanmu gimana sekarang?"
"Ooh bilang dong. Nggak tahu, semuanya abu-abu Wa. I can't remember you". Aku menoleh kearahnya, mendapati wajahnya yang sendu. Kemudian dia tersenyum.
"I know." Ada nada sedih didalamnya. Senyumnya juga bukan senyum menawan. Tapi senyum luka.
"Kenapa kamu nggak cerita aja ke saya? Ngasih tahu saya semuanya". Dia hanya menggeleng.
"I'm sorry Wa, really sorry".
"It's ok, Dita".
"Bisakah kita mulai dari awal?" Tanyaku. Dewa hanya mengangguk. Aku mengeha nafas.
"Wa bisa nggak jawabannya pake kata? Jangan ngangguk geleng gitu..."
"Ya...bisa". Aku mendesah frustasi. Terserah dia saja. Bisa-bisanya sih merusak suasana.
"Mari kita mulai dengan ini..." Dewa mengulurkan tangannya. Aku menatapnya seakan meminta penjelasan. Dia hanya tersenyum. "Hai, aku Dewa". Seketika aku tertawa. Jadi maksudnya adalah seperti ini, kenalan.
"Anindita. Dita". Jawabku menjabat tangannya sambil tersenyum.
"Nice to meet you, Dita". Ujarnya. Aku memukul lengannya pelan. Bisa bercanda juga dia. "Kita sudah memulai dari awal Dit".
"Dewa. Kalau seandainya saya tetap tidak bisa ingat siapa kamu atau bahkan perasaan saya nggak bisa kayak dulu lagi gimana?" Seketika Dewa menegang. Rahangnya mengeras. Tapi kemudian dia tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Love
Roman d'amourAnindita Pramesthi, 27 Tahun. Single dan gagal move on. Bertemu dengan Dewara Adam Wicaksana, pengacara sukses yang selalu Ia hindari.