PERKARA 11

246 24 1
                                    

Hari itu suram dan kelam. Ufuk langit terselubungi oleh awan kelabu; tidak ada tanda-tanda keberadaanmentari pagi. Susie terbangun mendengar ketukan lembut tetes hujan yang mengenai jendela kamar. Ia menguap, kemudian menggosok mata dengan buku-buku jemari. Meski keinginan gadis itu untuk kembali membenamkan kepala ke bantal sungguh besar, ia tahu hari itu adalah hari Senin dan ia harus pergi kuliah.

Masih dalam balutan pakaian tidur, Susie ke luar kamar dan turun ke ruang tamu. Cahaya lampu halaman depan rumah menyelinap masuk melalui jendela, menerangi ruangan luas yang gelap tersebut. Susie melirik jam dinding. Pukul setengah tujuh pagi, gumamnya. Pasti Ayah dan Ibu sudah pergi bekerja.

Susie berjalan melintasi ruang tamu menuju dapur. Gadis itu menekan sakelar di dinding dan seketika cahaya kekuningan dari lampu gantung menyinari setiap sudut dapur. Susie tengah meraih bungkusan sereal di atas suatu rak ketika ia menyadari sesuatu.

Dapur tampak berantakan. Peralatan masak belum dicuci dan piring-piring sisa makan malam semalam masih menumpuk di atas meja makan. Susie heran, biasanya Bu Siti sudah datang dan beres-beres sebelum kedua orang tuanya pergi ke kantor. Gadis itu pun mengangkat semua piring kotor tersebut dan meletakkannya ke dalam mesin pencuci piring.

Susie membuka kulkas, hendak mengambil susu untuk sereal. Namun, alih-alih menatap lemari pendingin yang biasanya selalu penuh dengan bahan makanan yang bisa diolah, gadis itu malah melihat rak-rak plastik yang hampir kosong; hanya terisi dengan sejumlah sayur-sayuran, minuman soda, sirup, dan kotak susu. Bu Siti sakit, ya? Kok, nggak ada yang belanja ke pasar hari ini? tanya Susie dalam hati.

Susie mengeluarkan telepon genggam dari saku celana, kemudian memutuskan untuk menelepon Bu Siti. Terdengar suara deringan tanda telepon telah tersambung. Butuh beberapa waktu lamanya hingga deringan itu dihentikan oleh suara Bu Siti dari ujung telepon.

"Halo?"

"Halo, Bu," Susie balas menyapa. Suara gadis itu lebih rendah dari yang biasanya karena ia baru bangun tidur. "Hari ini Bu Siti akan datang ke rumah jam berapa, ya?"

Hening sejenak. "Saya nggak datang, Teh," jawab Bu Siti lirih.

"Oh, begitu. Lagi sakit, ya, Bu?"

"Nggak, Teh." Suara Bu Siti semakin pelan, hampir tenggelam dalam suara rintik hujan di luar. "Saya, kan, sudah nggak kerja di rumah Teh Susie lagi."

"Lho, kok, bisa begitu, Bu?" ujar Susie spontan, nada suaranya meninggi tiba-tiba akibat rasa terkejut. Gadis itu buru-buru meminta maaf begitu ia sadar kelancangan dalam ucapannya. "Maaf, maaf, Bu. Saya nggak bermaksud ngomong seperti itu."

Terdengar helaan napas Bu Siti di ujung telepon. "Iya, nggak apa-apa, kok, Teh," balas wanita paruh baya tersebut. "Saya juga heran. Semalam si Ibu lagi marah-marah di telepon sama asistennya, terus saya kena marah. Padahal saya cuma ngingetin supaya si Ibu jangan marah-marah, biar darah tingginya nggak kambuh."

Susie tidak tahu ia harus membalas apa. Ia terdiam sesaat sebelum menemukan kata-kata yang pantas untuk diucapkan. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih, ya, Bu, atas semua bantuannya selama ini."

Bip!

Susie mengakhiri panggilan itu. Gadis itu merenung sejenak. Ia sadar bahwa keluarganya kini tengah dalam keadaan sulit, di mana semua orang meminta pertanggungjawaban mereka atas musibah yang terjadi belakangan ini. Sudah cukup sering Susie melihat bisnis ayahnya atau karir ibunya berada dalam posisi terancam. Namun, belum pernah sekalipun mereka begitu tertekan sampai-sampai mereka memecat salah satu dari asisten rumah tangga mereka tanpa alasan yang jelas, apalagi kalau yang dipecat adalah Bu Siti.

TIRA: Perkara PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang