KRING!!!
Susie sontak bangun dari tidur mendengar alarmnya berbunyi. Jantung berpacu begitu kencang, sampai-sampai ia bisa mendengar detaknya dengan jelas. Gadis itu terburu-buru membuka penutup mata dan melihat ke sekeliling.
Dinding ruangan tempat Susie berada berwarna putih. Sebuah lemari kayu berdiri di sudut ruangan, pintunya setengah terbuka, memperlihatkan tumpukan pakaian di dalamnya. Sebuah meja belajar terletak di samping lemari tersebut dan di atasnya terdapat lembaran kertas, alat tulis, buku yang berserakan. Aroma parfum buah-buahan menyeruak di dalam ruangan itu. Susie menghela napas lega. Ia telah kembali ke kamarnya.
Gadis berumur dua puluh tahun tersebut beranjak dari tempat tidur dan berdiri di depan kaca. Susie memandang pantulan dirinya sendiri selama beberapa menit. Ia terlihat seperti seseorang yang belum tidur selama berhari-hari. Rambut hitam yang biasanya lurus kini berantakan tak karuan. Kantung mata semakin hari semakin membesar.
Meski semua kejadian mengerikan yang ia alami semalam itu hanyalah mimpi. Namun, rasa sakitnya masih membekas seakan semuanya benar-benar terjadi. Kepala Susie pusing berat dan seluruh badannya terasa pegal. Dan hal terburuknya adalah, semenjak dua minggu lalu, hampir setiap hari Susie memimpikan hal yang sama dan bangun dengan rasa sakit yang sama.
"Ini semua karena mimpi sialan itu," gumamnya sebal.
"Mimpi apa?"
Susie menoleh dan mendapati ibunya sedang bersandar di ambang pintu kamar. Wanita paruh baya itu melipat kedua tangan di depan dada sembari tersenyum ke arah Susie. Ia sudah berpakaian kerja; kemeja linen abu-abu yang dikancing sampai atas, celana bahan hitam, dan sepatu pantofel hitam.
"Ah, bukan apa-apa," bantah Susie. Ia tersenyum, menunduk, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Hanya mimpi buruk yang membuat tidurku tidak tenang."
Ibu Susie beranjak mendekati putri tunggalnya. Ia mengangkat wajah anaknya dengan tangannya yang kecil dan dingin. Perempuan berusia empat puluh delapan tahun itu menatap dalam-dalam mata anaknya.
Dari dekat, Susie meneliti seluruh detail kecil wajah ibunya. Mata cokelat yang besar, hidung tajam, dan tulang pipi yang tinggi. Sejumlah helai rambut ibunya telah memutih, daerah keningnya berkerut, kedua garis senyum terlihat jelas. Susie mengagumi fakta bahwa ibunya masih terlihat menawan meskipun beliau hampir berumur setengah abad.
"Kamu yakin kamu baik-baik saja?" tanya ibunya. "Dua malam yang lalu kamu juga terbangun tengah malam karena mimpi buruk, kan?"
"Entahlah," tanggap Susie singkat sembari mengangkat bahu. Ia sedang tidak ingin membahas tentang mimpi buruk itu. "Mungkin aku memang lagi banyak pikiran."
Ibunya menghela napas panjang, lalu menepuk-nepuk pipi Susie. "Baiklah kalau kamu nggak mau cerita. Tapi kalau ada apa-apa, jangan lupa selalu beritahu Ibu dan Ayah, ya," ujarnya, kemudian beliau mengecup kening Susie.
Susie mengangguk.
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. "Tumben Ibu belum berangkat ke bank," celetuk gadis itu heran. Ibunya adalah seorang yang sangat menghargai waktu. Beliau biasanya sudah berangkat ke kantor pukul setengah tujuh pagi walaupun jam kerja beliau dimulai dari jam sembilan pagi.
"Oh, Ibu mengambil cuti hari ini, Susie," tanggap wanita itu sembari menyibakkan rambut ke balik telinga kirinya. "Hari ini Ibu hanya akan berangkat ke bank untuk mengecek beberapa berkas pembukuan, kemudian pulang dan berkemas. Ayah akan terbang ke Jepang malam ini untuk menghadiri konferensi pers peluncuran perdana produknya di Jepang, jadi Ibu harus menemani Ayah," jelasnya.
"Kapan Ayah dan Ibu akan pulang?"
"Kurang lebih empat hingga lima hari, Sayang."
Bahu Susie melorot.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIRA: Perkara Pertama
ActionSusie, anak konglomerat yang fasih menggunakan teknologi mutakhir memiliki sebuah identitas lain bernama Tira yang membahasmi kejahatan di kota, namun dia tiba-tiba mendapat kekuatan baru dan terlibat masalah yang tidak ia duga. Tira adalah sebuah...