PERKARA 3

908 76 4
                                    

Hari baru, rutinitas yang sama.

Susie sampai di kelas pukul setengah tujuh pagi; setengah jam sebelum kelas dimulai. Dharani sudah duduk di kursi tengah barisan paling belakang, seperti biasa. Gadis berambut hitam bergelombang itu melambaikan tangan ke arah sahabatnya.

"Wah, keajaiban banget, ya, kamu nggak telat," celetuk Dhara.

"Iya, nih, jarang-jarang," tanggap Susie.

"Gimana mimpi burukmu?"

Susie terdiam. Karena ia terlalu sibuk melawan preman semalam, ia bahkan hampir tidak ingat lagi ia pernah mengalami mimpi buruk. "Syukurlah semalam aku nggak mimpi buruk lagi."

Dhara menyengir. "Hehe, pasti karena kamu mengikuti tips-tips dari web yang aku sarankan, kan?"

Susie memasang muka malas. "Untuk yang terakhir kalinya, Dhar, aku nggak percaya sama hal-hal spiritual seperti itu," ujar Susie. "Hal-hal gaib seperti itu nggak bisa dijelaskan secara ilmiah dan aku percaya kalau semua yang konkret dan ada di dunia ini pasti bisa dijelaskan secara ilmiah."

"Ih, dasar kutu buku," ejek Dhara dengan nada bergurau. Susie hanya tertawa kecil, kemudian duduk di kursi samping Dhara.

Susie hendak mengeluarkan buku catatan dari tas ketika dari sudut matanya, ia menangkap wajah yang tidak familier memasuki ruang kelas. Seorang pemuda. Tubuhnya jangkung dan berisi, seperti seorang atlet bola basket. Ia terlihat kebingungan; berkali-kali ia mengecek nomor ruangan, kemudian mencari-cari tempat duduk yang masih kosong.

"Dhar, itu siapa?" Susie berbisik di telinga Dhara, lalu menelengkan kepala ke arah pemuda tersebut.

Dhara otomatis menengok. "Entahlah," ujarnya. Gadis itu kembali menoleh ke arah Susie. "Tapi dia tampan dan dia sedang berjalan ke sini."

Susie melirik melalui sudut mata. Benar, pemuda itu tengah berjalan ke arah mereka berdua. "Sial," kutuk Susie. "Bersikap normal saja, Dhar. Jangan terlihat seperti kita sedang membicarakan dia."

Dhara mengangguk tanda mengerti, walau sebenarnya Susie ragu definisi 'normal' bagi Dhara sama dengan definisi 'normal' baginya.

"Hai," ujar pemuda itu, yang kini berdiri di samping kursi Susie. "Kalian keberatan nggak kalau aku duduk di sini?" Ia menunjuk kursi di sebelah kursi Susie.

Susie berusaha memberikan senyum yang paling ramah. "Nggak, kok," katanya.

Pemuda itu tersenyum lebar. Ia meletakkan ransel di kaki kursi, lalu menghempaskan diri ke atas kursi.

"Maaf kalau aku terkesan lancang," Dhara membuka pembicaraan. Ia mencondongkan tubuh ke arah sang pemuda. "Tapi aku belum pernah melihat kamu di kelas ini. Kamu salah kelas, ya?"

Susie menyikut lengan Dhara keras.

"Aduh," gumam Dhara kesakitan.

"Itu namanya bukan terkesan lancang lagi, tapi kelewat lancang," Susie memarahi Dhara sembari memelototi sahabatnya itu. Dhara, dengan kening yang dikerutkan, mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Susie seolah memberi pertanda untuk tidak ikut campur.

Sang pemuda tertawa kecil. "Ya, aku memang baru pindah semester ini dari kampus lain." Ia tersenyum kepada Dhara. Namun, setelah itu ia menyodorkan tangan kepada Susie terlebih dahulu.

"Namamu siapa?" tanyanya.

Susie, yang sekadar ingin membalas kesopanan dengan kesopanan, membalas jabatan tangan pemuda tersebut. "Susie."

TIRA: Perkara PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang