PERKARA 12

211 20 0
                                    

Hingga sore hari pun, Dharani dan Susie tidak melihat Nico. Beberapa kali Susie mencoba untuk menghubungi Nico melalui pesan singkat atau telepon. Namun, tidak ada satu pun cara yang mendapatkan balasan.

Setelah berpisah dengan Dharani di perpustakaan, Susie memutuskan berkeliling kampus. Kebetulan hari ini Pak Agus tidak dapat menjemput, sehingga gadis itu bisa menikmati waktu sendiri untuk berpikir sambil berjalan-jalan.

Matahari sore itu terik dan menyilaukan mata setiap orang yang menatapnya. Susie memandangi bayangannya yang terbentuk di atas aspal jalan. Cahaya matahari yang mengenai punggung membuat seluruh tengkuk menjadi panas dan tetes keringat mengalir di pelipis gadis itu.

Pikiran Susie dipenuhi tingkah langka Nico dan Dhara yang begitu aneh hari ini, cerita Dhara mengenai Nico yang sepertinya menyembunyikan sesuatu, perampokan bank, mimpinya yang merupakan sebuah pertanda bahwa ia punya kekuatan. Semua itu terlalu berlebihan untuk diproses oleh Susie. Meski ia sendiri tidak berpikiran seperti ini, terkadang Susie berharap ia bisa menjalani hidup layaknya perempuan umur dua puluh tahun lainnya. Tapi, tentu saja, hal itu tidak mungkin. Sebab nasi telah menjadi bubur, Susie sudah terlanjur menjalani kehidupan alter ego-nya sebagai Tira.

Di tengah perjalanan menuju gedung depan kampus, Susie menemukanburung-burung kecil yang terbang masuk dan keluar menembus pepohonan. Ia melihat mereka hinggap di atas sebuah sarang di cabang tertinggi, tempat sang induk telah menunggu kedatangan mereka. Susie membayangkan jika ia dapat hidup seperti mereka. Terbang di langit sebebas-bebasnya, tanpa satu beban pun di pundak, dan dapat menghabiskan waktu bersama keluarga yang selalu ia dambakan. Namun lagi-lagi, itu tak mungkin.

Susie lanjut mengayunkan langkah hingga tiba di depan kampus. Langit sudah hampir gelap dan jam tangan Susie menunjukkan pukul enam sore. Gadis itu menunggu ojek yang dipesan melalui aplikasi. Tak lama, seorang pria paruh baya berjaket kulit hitam dan helm biru tua –seragam ojek daring—muncul.

Susie pun menghampiri pria tersebut. "Atas nama Susie, ke jalan Dahlia, Pak," tukasnya sambil menerima helm yang disodorkan oleh sang tukang ojek. Sambil mengacungkan jempol, tukang ojek itu menyalakan mesin motor, lalu menancap gas saat Susie telah naik ke atas motor.

Angin dingin menerpa wajah Susie begitu kencang. Sang tukang ojek berkendara dengan sangat cepat, menyalip hampir semua kendaraan yang ada di jalanan. Tak jarang pula beberapa pengendara mobil mengklakson mereka berdua berkali-kali. Susie tidak keberatan. Bahkan ia pernah melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi saat sedang beraksi sebagai Tira.

Mereka pun berhenti di garis depan sebuah pertigaan kota yang cukup sepi. Susie tidak begitu familier dengan daerah ini; bagian timur kota. Memang daerah timur adalah daerah industri dan isinya kebanyakan hanyalah pabrik, termasuk pabrik ayahnya. Tidak banyak orang yang mau melewati daerah ini, sebab banyak sekali kejahatan yang terjadi.

Sejumlah kendaraan lain ikut berhenti di belakang mereka karena lampu lalu lintas baru saja berganti menjadi warna merah. Susie mendengar deru mesin motor dari kejauhan yang semakin lama mendekat ke arahnya. Gadis itumenoleh dan mendapati dua pasang pria berboncengan memberhentikan motor di sebelah kanan dan kirinya. Mereka memakai pakaian serba hitam, kacamata hitam, serta sebuah helm putih. Sebuah kalung rantai menjuntai dari leher dan saku celana mereka. Mereka menggeber-geber mesin motor mereka sembari menyengir jahil.

"Neng, neng, tasnya cakep, tuh," ujar salah seorang dari mereka sambil terkikik nakal.

"Si Neng juga cakep, euy!" sahut yang lainnya.

Gawat, pikir Susie. Gadis itu sudah bisa menerka apa yang akan terjadi berikutnya. Ia mendekap ransel erat-erat. Aku tidak bawa peralatan bertarungku.

TIRA: Perkara PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang