PERKARA 13

227 19 7
                                    

Padang pasir itu tidak berujung. Hanya terlihat pasir kemerahan dan semak tak berdaun sepanjang mata memandang. Angin bertiup, menerbangkan butir-butir pasir dan membawa udara panas melintasi tanah gersang tersebut. Matahari besar keemasan mengintip dari balik kaki langit. Sinarnya jatuh mengenai Susie yang tengah berlari bak orang ketakutan.

Butiran pasir memenuhi sepatu gadis itu. Baju yang ia kenakan telah basah sebagian, menyerap keringat yang membanjiri seluruh tubuh. Ia terus-menerus menoleh ke belakang, seolah seseorang tengah mengejar. Setiap ia menengok, tidak ada apa-apa kecuali jejak kakinya yang tercetak pada permukaan pasir. Ia tidak tahu siapa atau apa yang mengejar, atau mengapa ia berlari. Namun, insting bertahan hidup menyuruhnya untuk terus menggerakkan kaki, sebab sesuatu tengah mengincarnya. Gadis itu pun berlari tanpa arah.

Susie merasakan kakinya perlahan-lahan menyerah dengan sendirinya. Sebelum gadis itu jatuh, ia berhenti sejenak di samping sebuah tanaman kaktus. Ia pun menunduk, memegangi lutut yang nyeri dan pegal sembari tersengal-sengal. Jantung Susie berdetak begitu cepat dan wajah dialiri peluh memerah.

Ia melihat ke sekeliling, berusaha mencari tanda kehidupan atau pertanda apapun yang bisa membantunya pergi dari gurun ini secepat mungkin. Namun, yang ada di hadapannya hanyalah bukit-bukit pasir yang saling tumpang tindih. Ia tidak tahu ia habis berlari dari mana atau apa yang seharusnya ia tuju. Tetapi yang pasti, ia harus tetap berlari.

Aku tidak bisa berlama-lama di sini, tebersit dalam benak Susie. Aku harus pergi.

Entah dari mana pemikiran itu datang. Namun, kalimat itu terus-menerus menyiksa benak. Sesuatu di kepala Susie mengatakan padanya bahwa gadis itu tidak akan pernah aman selama ia tidak berlari dari sesuatu yang bahkan tak ia ketahui apa. Susiemenarik napas dalam-dalam.

Ia kembali berlari melintasi gurun yang gersang. Angin kencang yang meniupkan butiran pasir masuk ke dalam mulut Susie dan membuatnya terbatuk-batuk. Gadis itu memicing, mencegah pasir memasuki mata. Pandangannya menjadi kabur dan ia kehilangan arah.

Sepuluh, dua puluh menit berlalu. Susie tidak yakin ia dapat terus berlari dengan keadaan seperti ini. Tenggorokan terasa kering dan tubuh begitu lemas. Udara panas membuat pikiran gadis itu kacau. Semakin jauh melangkah, semakin berat setiap ayunan langkah yang ambil; seolah-olah tumpukan pasir di bawah kaki menelannya perlahan-lahan.

Langkah Susie melambat. Setelah cukup jauh berjalan, kakinya tidak sanggup lagi menyokong tubuh dan ia pun terjerembap ke atas gundukan pasir di depannya. Wajahnya kini dihiasi oleh butir-butir pasir.

Aku tidak bisa tinggal di sini, pikirnya. Harus. Tetap. Berlari.

Gadis itu berusaha bangkit lagi. Namun, tangannya bergetar hebat ketika mencoba mengangkat tubuhnya. Bagian tubuh dari pinggul ke bawah mati rasa. Ia takut akan menjadi lumpuh di tengah padang gurun tanpa seorang pun dapat menyelamatkannya.

Susie mendongak. Entah hal ini memang benar adanya atau ia mulai berhalusinasi karena dehidrasi. Namun, gadis itu melihat sebuah pantulan gelombang di ufuk yang tampak seperti genangan air beriak.

"Air," tukas Susie lirih. Ia menjulurkan tangan ke depan, seolah-olah bisa meraih genangan air itu.

Ketika Susie hampir saja pasrah dan hendak menurunkan kepala, matanya menangkap sesosok manusia lain tengah berjalan ke arahnya, muncul dari balik kaki langit. Susie mulanya tidak yakin orang tersebut benar-benar nyata. Namun, semakin dekat sang pria dengan Susie, semakin jelas pula bahwa ia adalah manusia sungguhan, bukan semata-mata hasil halusinasi Susie.

Orang asing itu adalah sesosok pria paruh baya berpakaian jubah merah tua lusuh dengan sebuah kain bercorak cerah yang tersampir di pundak. Kulitnya cokelat muda dengan sentuhan kemerahan di wajah, mata sipit, dan kepalanya botak. Ia mengenakan sebuah sandal kulit yang telah aus dimakan waktu. Penglihatan Susie mengabur. Namun, ia masih bisa melihat pria ini mendadak menghentikan langkah saat menyadari keberadaan Susie.

TIRA: Perkara PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang