PERKARA 5

678 55 7
                                    

Susie terbangun.

Dingin. Kegelapan tak berujung.

Ia tengah duduk dalam posisi meditasi. Namun, bukan di dalam kamarnya.

Susie menundukkan kepala dan melihat bahwa tubuhnya mengambang beberapa senti di atas batu besar. Ketika mendongak, ia melihat sembilan orang keluar satu per satu dari balik sembilan batu besar sambil mengucapkan serangkaian kalimat yang diulang-ulang. Tubuh mereka berpendar, memancarkan cahaya jingga di dalam kegelapan. Mereka semua berdiri membentuk setengah lingkaran di depan sebuah altar.

"Ma yasa pranima mero saktima vivasa gardak."

Hanya serangkaian kata-kata itu yang berhasil ditangkap oleh telinga Susie. Kesembilan orang yang mengenakan jubah putih itu mengumandangkan kalimat tersebut semakin keras.

Sebuah sensasi panas menjalar di permukaan kulit tangan Susie. Panas itu merambah ke seluruh tubuh Susie hingga akhirnya ia merasa seperti tengah dibakar di atas sebuah tungku api. Seluruh tulang terasa seperti dipatahkan satu per satu. Ia meronta-ronta kesakitan dengan mata yang terpejam. "AHH!" ia spontan menjerit kesakitan.

"Jangan melawan." Sebuah suara menggema di dalam telinga.

Sontak mata Susie seperti dibuka secara paksa. Ia melihat seorang pria tua dengan rambut putih sebahu dan kumis yang tebal tengah berdiri di hadapannya. Wajah pria tersebut penuh dengan bintik-bintik dan kerutan. Namun, yang menarik perhatian Susie adalah sebuah luka gores yang melintang dari ujung kiri atas wajahnya hingga ujung kiri bawah. Pria itu terkesan marah. Ia mengangkat tangan ke depan wajah Susie.

"Apa yang kalian mau dariku?!" seru Susie.

"Tidurlah."

Pria itu menjentikkan jari. Seketika, pandangan Susie berputar tak karuan. Gadis itu terhempas ke atas sebuah permukaan yang keras.

Ia mencoba melawan, tapi kesadarannya perlahan-lahan menghilang.

***

Semuanya bertambah buruk, pikir Susie. Gadis itu bangkit dari ranjang dan mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ia panik, lelah, ketakutan, dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia mulai mempertanyakan apakah alam bawah sadar itu benar ada atau tidak? Dan jika tidak, lalu bagaimana ia bisa mendapat penglihatan saat bermeditasi? Mengapa mimpi buruknya kali ini berbeda dari yang sebelum-sebelumnya? Aku harus memberi tahu Dhara, gumam Susie di dalam hati.

Jam dinding di kamar Susie menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Susie buru-buru mempersiapkan diri pergi ke kampus. Ia melangkah keluar dari rumah dan mendapati Pak Agus, seperti biasa, telah menunggu dengan cengiran lebar.

"Hai, Teh. Kok, hari ini kelihatan lemas?"

Susie tidak sadar bahwa ia terlihat selelah itu sampai-sampai Pak Agus memperhatikan. Ia berkaca di jendela mobil. Pantulan dirinya di kaca menunjukkan sesosok gadis dengan rambut berantakan, kantung mata tebal, dan mata memerah. Ia bahkan tidak percaya ia terlihat seletih itu.

"Iya, Pak. Semalam saya harus bergadang mengerjakan tugas," Susie berdusta.

"Oh, iya, Teh. Sudah mulai sibuk, ya?"

"Iya, nih, Pak. Semangatin saya terus, ya, Pak!"

"Siap, Teh!"

Pak Agus mengacungkan kedua jempol pada Susie sebelum beliau membukakan pintu mobil. Susie tertawa melihat tingkah langkah supir pribadinya yang selalu membuat pagi terasa lebih cerah.

Susie masuk ke dalam mobil dan Pak Agus mulai menyetir. Jalanan di kota ini tidak pernah lenggang di pagi hari; selalu dipenuhi oleh orang-orang yang mau berangkat ke kantor, pelajar yang hendak pergi bersekolah atau ke kampus, maupun para turis yang sedang berlibur. Kemacetan selalu ditemui oleh Susie dan Pak Agus hampir setiap pagi.

TIRA: Perkara PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang