PERKARA 7

528 46 13
                                    

Nico datang lebih lama dari yang Susie perkirakan; sekitar pukul sebelas lewat dua puluh menit. Susie melihat sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan gerbang rumah melalui monitor bertuliskan 'Thetatech' yang terletak di samping pintu depan. Sebuah kepala melongok keluar melalui jendela mobil, menatap ke arah security camera yang terpasang pada salah satu pilar yang mengapit gerbang hitam berhiaskan perunggu yang tinggi dan megah. Nico.

"Maaf aku terlambat," seru Nico. Suaranya terdengar melalui pengeras suara pada monitor. "Kota ini macet sekali, ya, pada hari Sabtu,"

Susie tertawa kecil. Ia menekan sebuah tombol biru pada layar monitor dan mendekatkan mulut ke pengeras suara. "Ya, sudah, masuk saja sini," ujarnya. Gadis itu kemudian menekan tombol lain yang berwarna merah dan gerbang depan rumahnya otomatis terbuka. Nico melambai pada Susie melalui security camera sebelum ia memasukkan kepala kembali ke dalam mobil dan menyetir masuk ke halaman depan rumah.

Nico menyapa Susie dengan senyum semringah ketika gadis itu membukakan pintu depan rumah. "Hai," sapa pemuda itu. Ia mengenakanjaket parka berwarna hijau tua dengan ritsleting terbuka,menunjukkankaus oblong hitam di baliknya. Celana jins biru tua membalut kaki jangkung Nico.

"Hai," balas Susie.

"Aku bawa sesuatu, nih, untukmu," tukas Nico, memecah keheningan setelah mereka berduabertatapan dalam diam untuk beberapa detik. Ia mengeluarkan sebuah permen cokelat batangan yang dihiasi seuntai pita merah dari saku jaket. Susie mendongak dan melihat pemuda itu mengedipkan sebelah mata. "Anggap saja sebagai imbalan karena sudah mau belajar bersamaku."

"Terima kasih, lho," ujar gadis itu. Tanpa ia sadari, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman lebar. "Seharusnya kamu nggak usah repot-repot."

Susie mempersilakan Nico masuk ke dalam ruang tamu. Mereka berdua pun duduk di sofa yang berseberangan. Secercah sinar mentari siang yang mengintip melalui tirai jendela menyinari wajah Nico. Di bawah sorotan cahaya tersebut, mata cokelat tua pemuda itu berubah menjadi cokelat terang.

Susie tidak kuasa mengurungkan niat untuk memandang mata indah Nico. Kedua bola mata pemuda itu mengingatkan Susie akan warna tanah basah yang menyembul dari balik rerumputan setelah hujan besar melanda. Gadis itu menyadari ada sedikit semburat warna karamel di bola mata Nico.

"Sus," tegur Nico lembut, menyentak Susie kembali ke kenyataan. "Kamu kenapa bengong?"

Spontan, Susie merasakan kedua pipinya memerah. "Nggak kenapa-kenapa, kok," ujarnya cepat-cepat sembari membuang muka karena tidak ingin Nico melihatnya tersipu. Susie hanya bisa berharap dalam hati, Nico tak menyadari bahwa sedari tadi ia bengong memandangi mata pemuda itu.

"Kamu yakin kita mau belajar seperti ini?" tanya Nico. Susie mengangkat sebelah alis, pertanda ia tidak mengerti. Nico menangkap maksud Susie dan memperjelas maksud perkataannya. "Maksudku, kurasa aku akan lebih mudah bertanya padamu apabila kita berdua duduk bersebelahan. Kamu keberatan, nggak?"

"Nggak, kok," jawab Susie. Ia bergeser sedikit dan menepuk-nepuk bantalan sofa di sebelahnya. "Sini." Nico tersenyum hangat. Pemuda itu pun beranjak dan duduk di samping Susie.

Mereka berdua menghabiskan waktu kira-kira tiga jam untuk belajar. Setiap latihan soal di buku panduan mereka kerjakan, soal-soal ujian tahun lalu pun mereka bahas. Sesekali Nico bertanya pada Susie mengenai suatu rumus mendasar yang menurut Susie seharusnya sudah dipahami oleh anak teknik manapun. Hal itu membuat Susie sadar mengapa Bu Artha membutuhkan bantuannya mengajari Nico. Meski begitu, dibandingkan dengan sejumlah orang yang pernah Susie bantu belajar sebelumnya, Nico termasuk salah satu yang cepat mengerti.

Siang berganti sore. Melalui jendela ruang tamu, Susie dapat melihat langit biru berubah menjadi kelabu. Tetes-tetes air hujan menghantam tanah. Gemuruh guntur sesekali terdengar di kejauhan, tetapi belum satu pun kilat yang muncul. Jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Susie bolak-balik mengecek telepon genggam untuk melihat apakah ada notifikasi masuk dari orang tuanya. Gadis itu berharap mereka sampai di rumah dengan selamat.

TIRA: Perkara PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang