Perkara 21

233 18 4
                                    

"Pani, Hava, Akasa! Pani, Hava, Akasa!" suara Tira terus terdengar, memanggil-manggil entah siapa.

Tiga roh naga keluar dari tubuh Tira pada saat yang bersamaan. Gadis tersebut tersentak sedikit ke belakang dalam keterkejutan. Matanya membelalak melihat tiga naga yang tampak benar-benar berbeda keluar dari dalam dirinya.

Naga yang pertama memiliki tubuh lebih panjang dan ramping dibandingkan naga yang lainnya. Tubuhnya terbuat dari air yang sangat jernih; berpendar memancarkan cahaya kebiruan. Tanduknya bergelombang dan berwarna biru tua mencuat dari kening. Sementara itu, naga kedua memiliki tubuh yang nampaknya terbentuk dari udara yang berputar cepat di sekitarnya. Badan serta sayap kecil, sedangkan tanduknya lurus dan pendek bak dua cula badak kecil yang menempel di dahi. Naga yang terakhir tampak lebih besar dari naga yang lainnya, bahkan lebih besar dari wujud naga Ispata sendiri. Tubuhnya terbuat dari gumpalan-gumpalan awan yang terus menerus berubah warna perlahan-lahan dari putih menjadi abu-abu gelap. Ia memiliki tiga tanduk yang mencuat ke atas, kemudian melengkung ke dalam pada bagian ujung. Sayapnya yang megah berukuran dua kali lipat tubuh, melebihi ukuran tubuh naga-naga lainnya.

Ketiga naga itu berputar-putar di udara, membuat Tira melongo karena tidak yakin apakah ia sedang bermimpi atau tidak. Mereka kemudian bertemu tengah bersama dengan Ispata dan menyemburkan api secara serentak ke atas. Para warga yang terhipnotis di sekitar mereka lagi-lagi mengambil beberapa langkah ke belakang, menghindari lidah api yang menyala-nyala. Sementara Tira masih berusaha keras mendorong satu per satu warga dengan perisai.

"Kemari, Tuan Putri!" seru Ispata. Dengan cepat, Tira melempar pintu mobil yang sedari tadi ia pegang jauh-jauh. Pintu tersebut mengenai beberapa orang di depannya dan membuat mereka tumbang untuk sesaat.

Gadis itu melihat jendela kesempatannya terbuka lebar. Ia memanjat ke atap sebuah mobil, kemudian melompat dari atap mobil yang satu ke atap mobil lainnya sembari sesekali menginjak tangan beberapa warga yang hendak mencengkeram kakinya.

Begitu sampai di tengah lingkaran tempat keempat naga tadi berada, mereka semua sudah berubah menjadi empat pendekar. Mereka berdiri saling memunggungi satu sama lain, menghadap para warga yang terlihat masih ketakutan untuk mendekati mereka. Ispata memberi isyarat agar Tira berlindung di belakangnya. Gadis tersebut menurut; segera ia berdiri di tengah keempat pria tinggi berbaju zirah yang masing-masing telah mengusung pedang.

Seorang pendekar yang memegang sebuah pedang tipis dan lurus yang tampak terbuat dari kristal bening mengambil satu langkah ke depan. Ia memasang ancang-ancang hendak menyerang. Namun sebelumnya, ia melirik ke arah Tira dari balik bahu. "Pegangan yang erat pada kami, Tuan Putri," ia memperingati sembari tersenyum. Suaranya terdengar ringan dan halus; hampir menyerupai sebuah bisikan.

Seperti udara yang bertiup, pikir gadis berkostum serba merah itu setelah mendengar suara sang pendekar. Perlahan dan lembut.

"Hava, satu dari sembilan roh naga," Ispata berujar di samping telinga Tira seakan pria itu bisa membaca isi pikiran Tira. "Representasi elemen angin."

Pendekar bernama Hava itu menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tira merasakan udara di sekelilingnya berputar cepat, nyaris menyeretnya ke pinggir jembatan. Helai rambutnya beterbangan tak karuan, menutupi mata dan membuatnya hampir tidak bisa melihat apa-apa. Ispata cepat-cepat mengaitkan lengannya dengan lengan Tira agar gadis itu tidak terbang melayang terbawa angin kencang yang menerpa mereka.

Kabut ungu yang mengelilingi jembatan itu ikut tertiup, membentuk pusaran angin yang berpusat pada Tira dan keempat pendekar di sisinya. Orang-orang di sekeliling mereka berpegangan pada mobil-mobil yang ada. Namun sayangnya, angin yang Hava hasilkan terlalu kuat dan tetap saja menerbangkan para warga ke udara.

TIRA: Perkara PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang