Happy Reading !!!
***
“Apa gak sebaiknya Ethan di ajak aja, Mas?” jujur saja Iris merasa ragu jika harus meninggalkan bocah itu. Ia tahu Kalea ibu kandung Ethan, tapi entah mengapa Iris selalu merasa khawatir berlebihan.
“Aku khawatir di jalannya, Ris. Ethan belum terbiasa bepergian jauh. Gak apa-apa, Kalea sedang tidak sibuk, kok, dia janji untuk menjaga Ethan dengan baik. Terima kasih sudah mengkhawatirkan Ethan” Seulas senyum Agas berikan. Ia benar-benar tersentuh dengan itu. Terlebih melihat bagaimana sorot Iris yang tidak di buat-buat hanya untuk mencari perhatiannya.
Iris tulus, dan perempuan itu benar-benar mengkhawatirkan Ethan. Selama satu tahun ini, Agas juga jelas tahu bagaimana sayangnya Iris terhadap Ethan. Dan itu membuat Agas bertambah yakin dalam mempersunting gadisnya. Menjadikan Iris ibu sambung untuk putranya.
Iris tidak bisa membantah, ia juga tidak bisa mengutarakan alasan kekhawatirannya. Iris tidak mau Agas salah paham jika sampai dirinya menyampaikan alasan yang dirinya miliki. Terlebih Kalea adalah ibu kandung Ethan. Tidak ada alasan untuk wanita cantik itu menyakiti Ethan. Tapi tetap saja Iris merasa khawatir. Ia tidak percaya Kalea mampu menjaga Ethan dengan baik setelah melihat langsung bagaimana wanita itu memperlakukan Ethan. Memang tidak kasar, Kalea justru begitu lembut. Tapi justru itu yang Iris khawatirkan. Kelembutan yang Kalea berikan akan membuat Ethan manja dan seenaknya. Segala yang bocah itu inginkan tidak akan mampu di larang. Iris khawatir Ethan jadi sosok yang tidak terkendali nantinya.
Usapan lembut di punggung tangannya menarik Iris dari lamunan, membuat perempuan yang semula menatap ke jendela samping, menoleh ke arah Agas. Menatap pria itu dengan kerutan di kening.
“Kenapa gak tenang banget kelihatannya?”
“Gak apa-apa, aku cuma gugup aja.” Tentu saja itu adalah kebohongan. Iris sama sekali tidak gugup bertemu keluarganya dan mengenalkan Agas pada mereka, karena sebelum hari ini ia sudah banyak bercerita pada ayah dan ibunya tentang sosok Agas dan juga Ethan.
“Aku yang mau ketemu orang tua kamu, kenapa kamu yang malah gugup, sih? Seharusnya aku dong, Ris,”
“Iya. Tapi masalahnya ini untuk pertama kalinya aku bawa seorang laki-laki ke rumah. Aku yakin keluargaku pasti heboh, terlebih tetangga.” Ini tidak sepenuhnya bohong. Iris sudah yakin akan satu hal itu mengingat bagaimana tetangganya di kampung yang selalu ingin tahu urusan orang. Tapi ini tidak terlalu dirinya cemaskan, Iris malah tak sabar ingin melihat reaksi tetangga orang tuanya. Belum lagi teman-temannya semasa sekolah dulu. Iris tak sabar memamerkan Agas pada semua orang di kampung halamannya.
“Pasti seru,” kata Agas dengan senyum terukir. Membuat Iris mendengus kecil. Bukan tak suka, tapi Agas bertambah tampan ketika menampilkan senyumnya.
“Yang ada nanti kamu risi. Kamu kan gak suka keramaian,”
“Aku bukannya gak suka. Tapi tergantung bagaimana keramaiannya. Aku rasa dengan kehebohan keluarga kamu nanti aku tidak masalah. Dengan begitu aku tahu bahwa aku di sambut baik oleh mereka,” mengulurkan tangan, Agas mengusak rambut Iris penuh sayang, setelahnya kembali fokus pada jalanan di depan karena lampu merah yang semula membuatnya terhenti sudah kembali berubah hijau dan kendaraan-kendaraan lain sudah mulai melaju kembali.
Sisa perjalanan yang mereka tempuh diisi dengan obrolan ringan yang tak jarang membuat mereka tertawa, tidak lupa berhenti untuk istirahat dan mengisi perut, hingga dua jam berselang dari pemberhentian terakhir, kendaraan yang Agas kendarai memasuki jalanan yang lebih sepi dan sempit. Sampai akhirnya Iris meminta agar Agas menghentikan mobilnya di samping pohon jambu air yang tengah berbuah lebat.
Iris keluar lebih dulu, di susul oleh Agas yang celingukan, menatap sekeliling tempat yang dipijakinya saat ini. Sepanjang perjalanan ia sudah disuguhi dengan indahnya pemandangan hamparan kebun teh yang hijau. Dan ketika turun, udara sejuk pesawahan menyambutnya. Membuat Agas menghirup banyak-banyak, menukar udara panas kota yang membuat penat dengan udara segar yang belum tercemari polusi kendaraan-kendaraan layaknya di perkotaan. Kampung halaman Iris masih begitu asri.
“Mas, sini,” panggilan Iris membuat Agas melangkah cepat, menghampiri calon istrinya yang sudah berdiri bersama seorang paruh baya yang hanya mengenakan kaus singlet dan sarung. “Kenalin, ini Pak Basuki, RT di kampung ini. Pak, ini Mas Agas, calon suami Iris. Iris mau minta izin bawa Mas Agas menginap di rumah dua hari,” Iris memperkenalkan kedua laki-laki itu.
Di saat Agas merendahkan kepala sebagai salam tanda kesopanan, pria paruh baya yang Iris perkenalkan sebagai RT itu menelisik sosok Agas dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas. Setelahnya menoleh pada Iris.
“Yakin iyeu calon salaki kamu, Ris?” tanya Pak Basuki terdengar meragukan.
“Oh jelas. Kenapa memangnya, Pak, kasepnya?” ujar Iris menaik turunkan alis dengan seulas senyum bangga.
“Heum, Kasep. Makana Bapak teu yakin dia calon suami kamu.”
“Mau ngatain, tapi aku takut dosa!” delik Iris sebal, membuat tawa pria paruh baya itu meluncur puas. Sedangkan Agas terlihat tak begitu paham. Sampai akhirnya Pak Basuki mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri secara pribadi. Yang tentu saja Agas sambut dengan sopan.
Berbasa basi sejenak, akhirnya Iris dan Agas melanjutkan langkah, memasuki sebuah gang yang tidak bisa dilewati mobil. Membuat kendaraan Agas terpaksa harus diam di depan rumah Pak Basuki. Itu alasan Iris meminta Agas menghentikan mobil di depan tadi. Selain karena harus izin membawa laki-laki pulang ke rumah, juga karena Iris memang harus menitipkan mobil di sana.
“Masih jauh?”
“Sebentar lagi. Di depan sana rumah orang tuaku,” tunjuk Iris pada sebuah bangunan bercat biru muda yang terlihat begitu asri dengan tanaman yang terlihat tumbuh subur di sana. Terdapat pohon jambu air juga yang sedang berbuah lebat dengan warna merah yang membuat tenggorokan naik turun.
“Kok sepi?”
“Masih pada di kebun mungkin. Sebentar lagi pasti pulang, ini udah sore,” jawab Iris seraya melirik jam di pergelangan tangannya. Setelah itu melirik kanan kiri, mencari seseorang yang bisa dirinya mintai tolong, sampai tak lama kemudian seorang bocah yang Iris kenal sebagai anak dari tetangganya terlihat tengah mengendarai sepeda.
“Malik,” panggil Iris dengan lambaian tangan, meminta bocah berusia tujuh tahun itu menghampiri.
“Teh Iris?” tanyanya tak yakin.
“Heum. Malik bade ka wetan sanes?” dan anggukan singkat bocah itu berikan, membuat Iris menarik senyum kecil. “Pang nyaurkeun heula Uwa tiasa teu? Wartoskeun Teteh uih,”
Bocah yang bernama Malik itu mengangguk tanda setuju, setelahnya pergi dengan sepeda mungilnya. Sedangkan Iris mengajak Agas duduk di teras rumah orang tuanya yang teduh karena adanya pohon jambu air dan durian dengan tanaman bunga yang begitu terawat, membuat suasana benar-benar terasa sejuk.
“Kenapa kamu pilih tinggal di kota? Aku rasa kampung lebih nyaman,”
“Aku kuliah kemudian nyari kerja. Di sini gak ada kampus, begitu juga dengan pekerjaan. Paling-paling aku ke sawah atau ke kebun bantu ibu sama ayah. Lagi pula, kalau aku gak ke kota, mana bisa kita bertemu,” jelas Iris melirik sekilas Agas yang duduk di sampingnya.
“Benar juga. Aku juga tidak akan mungkin menginjakkan kaki di sini sekarang andai tidak mengenal kamu.”
“Nah itu Mas tahu.”
Obrolan ringan berlangsung, dan segala cerita meluncur dari bibir Iris, dimana masa kecil perempuan itu habiskan di kampungnya, menaiki pohon jambu yang ada di depannya dan segala kenakalan masa kecilnya yang membuat Agas menggelengkan kepala tak habis pikir. Sampai akhirnya sosok yang di tunggu datang. Dan Iris berlari menghambur memeluk kedua orang tuanya yang datang dengan wajah lelah bercampur bahagia. Membuat Agas yang menyaksikan itu menarik kedua sudut bibirnya. Ia yakin bahwa gadisnya itu merindukan orang tuanya, pun dengan dua paruh baya itu.
***
See you next part!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesayangan Duda
General FictionIris tidak menyangka bahwa dirinya akan memiliki kekasih seorang duda yang memiliki satu orang anak menggemaskan, yang sosoknya tidak sengaja dirinya temui di sebuah taman, tengah menangis tergugu akibat di tinggal orang tuanya. Awal kisahnya bermu...