Happy Reading !!!
***
Tidur Iris terganggu dengan suara ketukan di pintu yang terdengar tak sabar, membuatnya mendengus dan melangkah membuka pintu untuk melihat siapa yang mengganggu tidur nyenyaknya.
“Iyeu tos siang geulis. Astagfirullah!” Ibu Iris menggelengkan kepala melihat kelakuan anak gadisnya itu.
“Mumpung lagi cuti, Bu.”
“Iya, tapi masalahna kamu teu uih nyalira, Teh. Itu calon kamu kumaha?”
Iris mengernyitkan kening, mencerna kalimat ibunya, sampai beberapa saat kemudian ia menepuk keningnya cukup keras, merutuki kebodohannya yang lupa akan keberadaan Agas. Padahal sebelum tidur semalam Iris masih dapat mengingat dirinya mendapatkan satu kecupan singkat dari pria itu.
“Mas Agas udah bangun, Bu?”
“Titadi!” delik wanita paruh baya itu. “Mandi buru, terus baturan si Aa na sarapan.”
“Ish, jangan di panggil Aa, Bu, gak cocok!” protes Iris seraya bergidik geli. Ia lebih suka memanggil Agas dengan sebutan Mas dari pada Aa. Meskipun sadar dirinya orang sunda. Tapi tidak dengan Agas.
“Terserah. Cepat mandi!”
Setelahnya Ibu Iris melengos pergi, meninggalkan putrinya yang mengentak sebal karena tidur nyenyaknya terganggu. Tapi begitu masuk ke dalam kamar Iris tidak lagi berniat kembali tidur, ia memilih mandi dan keluar dari kamar, menemui Agas yang ternyata tengah duduk santai bersama sang ayah. Menikmati kudapan pagi yang Ibunya sediakan.
Meringis kecil, Iris menggaruk tengkuknya salah tingkah. Terlebih ketika sang ayah memberikan cibirannya. Sampai pria paruh baya itu meminta Agas berpikir ulang dalam menjadikan Iris seorang istri. Tentu saja hal itu membuat Iris menatap ayahnya protes, sementara Agas hanya tertawa melihat kedekatan anak dan ayah itu.
Selesai sarapan dan mengobrol santai di teras depan rumah, Iris mengajak Agas untuk berjalan-jalan, menikmati pagi yang cukup cerah. Hingga beberapa tetangga yang berpapasan, Iris sapa dengan ramah seraya mengenalkan Agas sebagai calon suaminya. Ia sudah berniat pamer memang, maka jangan salahkan jika Iris sengaja mengenalkan Agas pada siapa saja yang di temuinya. Tapi tentu saja Iris tidak tiba-tiba melakukan itu. Ia memberitahu ketika ada yang bertanya. Dan syukurnya hampir semua yang Iris temui sepanjang jalan menanyakan sosok Agas yang berada di sampingnya. Sampai kemudian, langkah Iris kembali berhenti kala seorang pria menghentikan laju motornya tepat di depan Iris.
“Iris ‘pan?” tanyanya memastikan.
“Iya lah A, saha deui memangna?” jawab Iris seraya memutar bola mata. Membuat pria dengan baju dinasnya itu menggaruk tengkuknya, terlihat malu.
“Maaf atuh, Aa gak ngeh. Iraha uih, Neng?”
“Kamari sonten,” singkatnya menjawab. Lalu sebuah anggukan paham pria berseragam dinas itu berikan. Sementara Agas yang tidak paham dengan apa yang di bicarakan dua orang di depannya hanya diam mengamati.
“Dugi iraha di bumi?”
“Enjing tos uih deui, A. Kunaon?” balik Iris bertanya dengan kerutan di kening.
“Henteu,” jawabnya seraya menggeleng pelan. “Kin sonten Aa ka buminya?”
“Bade naon?” kening Iris mengerut semakin dalam, menatap sosok tampan di depannya yang sudah turun dari kendaraan roda duanya. Iris akui pria itu terlihat berwibawa dalam setelan dinasnya, tapi jelas saja tidak bisa mengalahkan aura Agas. Calon suaminya itu berkali lipat lebih tampan dan berwibawa walau kini hanya mengenakan kaus dan celana pendek rumahan. Namun tidak dapat di bohongi bahwa dalam balutan santai seperti ini Agas terlihat lebih muda dari usia yang seharusnya.
“Silaturahmi, mumpung Neng aya di bumi,” jawabnya dengan seulas senyum yang menambah kadar ketampanan pria berseragam dinas berwarna khaki itu. Dan jujur, ketika remaja dulu Iris sempat menyukai pria itu, terlebih dengan bodohnya ia mengutarakan rasanya, hingga sebuah penolakan Iris dapatkan. Membuatnya malu bukan main, dan tentu saja merasa sakit hati, bahkan hingga saat ini Iris belum sepenuhnya bisa menerima. Bukan sakit hatinya, tapi malunya yang belum dapat Iris lupakan, sampai kemudian Iris memilih kuliah di kota demi menghindari cibiran-cibiran teman-temannya semasa remaja, juga ibu-ibu yang tahu akan kejadian bodoh itu. Ayah dan ibunya sampai ikut-ikutan mengejeknya dan itu membuat Iris muak. Tapi sekarang ia tidak peduli dengan itu lagi, karena jelas Agas lebih segala-galanya dari sosok yang pernah ia anggap sebagai cinta pertamanya.
“Eum …” Iris berpikir untuk beberapa saat, lalu menoleh pada sosok di sampingnya. “Mas, nanti sore mau jalan-jalan gak?” tanya Iris lebih dulu. Ia memang belum memiliki rencana untuk pergi, tapi siapa tahu ‘kan kalau Agas ingin melihat-lihat kampung halaman calon istrinya?
Laki-laki yang sejak tadi terfokus hanya pada Iris menoleh ke arah yang Iris tatap dan pandangannya menemukan sosok pria rupawan yang tak begitu dirinya hiraukan sejak tadi. Namun sekarang ia butuh jawaban mengenai siapa sosok yang Iris bawa.
“Boleh kalau memang kamu gak keberatan ajak Mas jalan-jalan, lihat-lihat sekitar.”
Iris mengangguk dengan senyum terukir begitu manis, lalu kembali menoleh pada pria yang masih setia berdiri di samping motornya yang menjadi jarak antara mereka.
“Gak janji aya di bumi, A. Calon suami Iris mau lihat-lihat keadaan di sini. Tapi kalau mau silaturahmi mah, A Iwan ka bumi we, mangga. Ayah sareng Ibu teu ka mana-mana,” jawab Iris dengan senyum tipisnya. Bukan berniat tebar pesona, tapi itu hanya untuk sekadar ramah tamah. Lagi pula Iris sudah tidak lagi memiliki rasa untuk pria itu.
“Kamu … mau nikah?”
Dan Iris menjawab dengan anggukan tegas, senyumnya terlukis semakin lebar lalu menoleh ke arah sampingnya.
Agas yang melihat itu langsung saja mengusak rambut gadisnya penuh sayang. Ia merasa gemas setiap kali Iris mulai menunjukkan sikap manjanya. Inginnya Agas menjatuhkan ciumannya saja pada sosok itu, sayangnya ia sadar dimana dirinya sekarang berada.
Kampung dan kota jelas berbeda pergaulannya. Jika sebuah kecupan masih bisa dianggap wajar di perkotaan. Akan sangat menggemparkan jika hal itu dilakukan di pedesaan yang mana hal tersebut masih mereka anggap tabu oleh masyarakat sekitar.
“A Iwan bade angkat ka balai desa?” tanya Iris untuk sekadar basa-basi, dan sebuah anggukan pelan pria itu berikan membuat Iris menarik kedua sudut bibirnya tipis. “Kalau begitu Iris sareng Mas Agas tipayun, A. Mangga,” menundukkan sedikit kepala, Iris kembali melanjutkan langkah bersama Agas tanpa menunggu jawaban dari si lawan bicara.
Melihat wajah terkejut Iwan, Iris sudah cukup merasa puas. Iris sadar bahwa pria itu menyesal karena dulu pernah menolaknya. Tapi maaf-maaf saja, jika pun itu benar, Iris enggan menukar Agas dengan dia.
***
See you next part!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesayangan Duda
General FictionIris tidak menyangka bahwa dirinya akan memiliki kekasih seorang duda yang memiliki satu orang anak menggemaskan, yang sosoknya tidak sengaja dirinya temui di sebuah taman, tengah menangis tergugu akibat di tinggal orang tuanya. Awal kisahnya bermu...