Happy Reading !!!
***
Iris mengerjapkan mata kala sinar matahari merengsak masuk melalui celah gorden yang sedikit tersingkap. Mengucek pelan matanya, Iris kemudian bangkit dari baring ketika netranya melirik jam yang berada di dinding kamar sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Namun gerakan Iris tertahan sesuatu berat, berupa tangan yang melingkar posesif di perutnya. Iris menarik senyum ketika sadar siapa pemilik lengan kekar itu.
Semalam mereka tiduran di sofa sambil menonton film, menikmati malam minggu berdua dengan obrolan ringan. Sesekali melontarkan perdebatan mengenai apa saja termasuk tontonan mereka. Hingga kemudian kantuk menyerang, dan Iris terlelap dalam pelukan hangat Agas. Ia tidak tahu jam berapa Agas memindahkannya ke kamar. Saking nyenyaknya tertidur, Iris tidak menyadari itu. Tapi yang ia ingat sebuah kecupan ringan menyentuh bibirnya dengan bisikan manis yang Agas lontarkan.
“Mas, bangun,” membalikkan tubuh yang semula telentang, Iris dapat jelas melihat wajah lelap calon suaminya yang tampan dan damai. “Mas,” ulang Iris seraya menjawil hidung mancung pria yang jarak wajahnya kurang dari satu jengkal. Begitu dekat, bahkan hembusan napas Agas yang hangat dapat jelas Iris rasakan di permukaan wajahnya.
“Lima menit lagi, oke?” gumam Agas pelan. Matanya masih tertutup rapat dengan lilitan tangan semakin mengerat di pinggang Iris. Membuat jarak tidak lagi ada diantara keduanya.
“Udah siang Mas!”
“Hari libur, sayang.”
Iris menghela napas, tidak lagi menanggapi, memilih membiarkan kekasihnya itu terlelap kembali untuk beberapa saat. Sementara dirinya sendiri hanya diam, karena untuk bangkit jelas tidak bisa sebab Agas mengunci pergerakannya. Kaki pria itu bahkan sudah membelit kaki Iris, seolah takut di tengah tidurnya sang calon istri melarikan diri.
“Sejak awal kita bertemu, aku tidak sama sekali berniat jatuh cinta padamu mengingat bagaimana kejamnya kamu sebagai orang tua yang tega meninggalkan anaknya di taman seorang diri,” mulai Iris yang entah dari mana mendapat dorongan untuk bercerita. “Tapi entah kenapa, dengan seiring berjalannya waktu hatiku malah lemah karenamu. Dadaku berdebar, terlebih ketika melihat bagaimana interaksimu dengan Ethan dan juga keluargamu,” tangan Iris bergerak mengusap lembut pipi Agas yang mulai di tumbuhi bulu-bulu halus. Membuatnya berencana untuk meminta pria itu bercukur nanti.
“Aku masih teringat bagaimana pesan Ayah dan Ibu sebelum memutuskan untuk kuliah dan mencari kerja di kota besar ini. Beliau berpesan untuk tidak sembarang menjatuhkan hati pada seorang pria. Aku di minta untuk melihat sikap si pria kepada orang tuanya lebih dulu, karena orang tuaku yakin bahwa pria yang menghormati dan menyayangi keluarganya, terlebih ibunya adalah sosok yang tidak akan buruk dalam memperlakukan istrinya. Tapi ketika aku tahu bahwa kamu bercerai dengan istri kamu sebelumnya aku merasa bahwa apa yang ibu dan ayah katakan salah. Tidak semua pria yang menghormati dan menyayangi ibunya adalah sosok yang tidak akan menyakiti istrinya. Aku sempat menganggap kamu buruk, sebagai suami dan juga ayah.”
Iris menarik senyumnya tipis. Tatapannya masih tertuju ke mata Agas yang terpejam, sedangkan jemarinya sudah turun menyentuh rahang Agas.
Iris tidak peduli Agas tertidur atau tidak sekarang, ia hanya ingin jujur pada Agas. Mengenai perasaannya, dan mengenai anggapannya selama ini terhadap pria itu.
“Namun, ketika penjelasan itu aku dengar, kau tahu bahwa kamu tidak seburuk itu. Aku juga mulai menyadari bahwa kamu tidak sepenuhnya ingin mengabaikan Ethan. Kamu hanya sedang mencari pengalihan dari luka yang mantan Istrimu goreskan. Tapi tetap saja aku kesal ketika Ethan yang dijadikan korban. Andai hari itu bukan aku yang menemukan Ethan di sana … apa kamu yakin dia masih bisa kembali bersama kamu sekarang? Ethan bisa saja dibawa orang jahat saat itu, mengingat sedang maraknya penculikan anak kecil dimana-mana.”
Iris merasakan pelukan Agas menguat, pria itu juga semakin merengsak mengikis jarak, membuat Iris kurang nyaman, tapi karena hangat menyelimuti mereka, Iris tak protes akan hal itu. Ia suka pelukan Agas.
“Tapi aku tidak menyesal. Aku senang bertemu Ethan hari itu. Karena berkat dia aku ada di sini sekarang, bersama kamu dan juga Ethan. Aku mencintai bocah itu sejak pertama kali bertemu. Dan … aku mencintaimu. Entah sejak kapan. yang jelas mulai saat itu aku tidak mau jauh darimu. Meskipun keberadaan Mbak Kalea tidak bisa aku abaikan. Aku merasa bahwa dia adalah saingan, dimana aku harus sekuat tenaga mempertahankan kamu. Membuat kamu dan Ethan tetap berada bersamaku, walau sadar bahwa Mbak Kalea lebih berhak dari pada aku.”
“Mas, boleh ‘kan aku jadi egois untuk mempertahankan kamu dan Ethan dari incaran Mbak Kalea?” tanya Iris kemudian, mengelus lembut alis lebat Agas. Hingga mata yang sejak tadi terpejam itu perlahan terbuka dan tatapan mereka bertemu, saling mengunci untuk beberapa saat.
“Aku yang akan jadi egois untuk mempertahankan kamu disisiku, Ris. Aku … aku yang akan jadi egois meminta kamu untuk tetap tinggal di sampingku seberat apa pun ujian cinta kita nanti. Aku ingin kamu tetap di sini, bersamaku dan Ethan. Karena aku dan Ethan memang membutuhkan sosok kamu.”
Kedua sudut bibir Iris terangkat mendengar kalimat Agas, perlahan matanya tertutup seiring wajah Agas mendekat, hingga sebuah benda kenyal menempel di atas bibirnya. Terasa lembut dan hangat.
“Aku mencintai kamu Iris Levana Ziva. Benar-benar mencintaimu.”
Setelah mengucapkan itu Agas lanjut mengelum bibir Iris dengan begitu lembut, menumpahkan segara cinta yang dirinya punya untuk perempuan yang belum lama ini memenuhi pikiran dan hatinya. Namun meski begitu Agas tidak memiliki keraguan akan perasaannya. Ia malah ingin mempercepat pernikahan mereka. Agas ingin seutuhnya memiliki Iris, menjadikan perempuan itu istri juga ibu untuk anak-anaknya.
Agas sudah membayangkan akan sebahagia apa anak-anaknya kelak memiliki ibu seperti Iris yang begitu penuh kasih. Iris lembut, tapi tidak lantas membuat anak manja. Ethan sudah menjadi bukti dari didikan dan kasih sayang yang perempuan itu berikan. Ethan bukan anak kandungnya, tapi Iris begitu menyayangi bocah lima tahun itu, tidak akan terbayang bagaimana sayangnya Iris kepada anak kandungnya nanti.
“Menikah denganku bulan depan, mau ya?” mohon Agas ketika ciumannya dengan Iris terlepas.
Mendengar itu Iris membelalak, dan refleks mendorong kuat Agas hingga pelukan mereka terlepas. Iris berdiri di sisi ranjang, menatap sang kekasih dengan raut tak percaya.
“Bulan depan?” tanyanya memastikan. Dan Agas mengangguk, wajahnya terlihat begitu polos, tidak memahami raut wajah Iris yang merah dan keras. “Kamu gila!”
“Jaga bicaramu, Sayang!”
“Kenapa? Kamu memang gila Mas! Bulan depan?” Iris menggeleng kuat. “Yang benar saja! Bisa di sangka hamil duluan aku sama keluarga dan tetangga di kampung.” Setelahnya Iris berdecak tak habis pikir. Sedangkan Agas menaikan sebelah alisnya, semakin bingung dengan respons Iris.
“Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya Agas tak paham.
“Kamu baru pulang dari kampungku satu minggu yang lalu. Apa kabar kalau sekarang kita mengabarkan keluargaku untuk pernikahan bulan depan? Orang-orang akan beranggapan bahwa aku tengah hamil.”
“Kita bahkan tidak melakukan hal lebih dari sekadar ciuman,”
“Iya, tapi pikiran orang-orang terlebih di kampung akan berbeda, Mas. Menikah secara mendadak akan membuat mereka berpikir yang macam-macam. Aku gak mau!”
“Ck, kenapa harus memikirkan apa yang orang lain ucapkan? Ini hidup kita, Sayang.”
“Ya, tapi orang lain akan ikut mengomentari.”
“Terus apa urusannya? Biarkan saja mereka berkomentar sesuka hati.” Agas mengedikkan bahunya santai. Sedangkan Iris mendengus sebal. Agas tidak paham kehidupan di pedesaan yang tidak bisa tidak ikut campur pada urusan orang sebagaimana kehidupan orang kota yang abai pada sekitar.
***
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesayangan Duda
General FictionIris tidak menyangka bahwa dirinya akan memiliki kekasih seorang duda yang memiliki satu orang anak menggemaskan, yang sosoknya tidak sengaja dirinya temui di sebuah taman, tengah menangis tergugu akibat di tinggal orang tuanya. Awal kisahnya bermu...