Bagian Sepuluh

2.7K 192 4
                                    

Happy Reading !!!

***

“Gak semangat banget kayaknya, Ris?” tegur Radhika ketika melihat sekretarisnya duduk dengan wajah redup, menatap layar komputer di depannya tanpa minat.

“Eh, Pak, selamat pagi,” sapa Iris seperti biasa, tidak mengidahkan tanya Radhika sebelumnya.

“Kamu baik-baik aja ‘kan?”

“Saya baik, kok, Pak,” jawab Iris dengan seulas senyum profesional yang kerap ditampilkannya pada sang atasan atau klien bosnya itu.

“Kamu yakin?” selidik Radhika tak percaya, tapi kemudian memilih untuk mempercayai ketika anggukan menyakinkan diberikan perempuan cantik itu.

Radhika memiliki batasan untuk tidak mencampuri urusan pribadi sekretarisnya. Tapi tetap saja ada penasaran yang tidak bisa dirinya sembunyikan. Namun sebisa mungkin Radhika tahan dan memilih untuk masuk ke dalam ruangannya.

Iris yang melihat itu bergegas mengambil buku catatan yang berisi agenda Radhika setiap hari, lalu menyusul bos-nya untuk memberi tahu apa-apa saja jadwal pria matang nan tampan itu. Setelahnya Iris kembali meninggalkan ruangan sang atasan untuk melanjutkan pekerjaannya.

Namun bukan fokus yang Iris dapatkan, karena ketika sendiri lamunan itu kembali lagi. Ingatannya lari ke kejadian sore kemarin dimana Agas marah atas kalimatnya yang terkesan meragukan pria itu. Padahal bukan itu maksud Iris. Ia hanya tidak ingin suatu hari nanti konflik datang dan menghancurkannya bersama harapan-harapan yang sudah Iris bangun. Iris tidak akan sanggup.

“Masih memikirkan yang kemarin?”

Bisikan itu refleks membuat Iris menoleh dan matanya membulat ketika mendapati sosok yang tengah dipikirkannya sudah berdiri di belakang dengan tangan terlipat dan tatapan datar yang membuat Iris meringis kecil. Ia tidak suka Agas yang seperti ini, karena Iris sudah terbiasa mendapatkan sikap hangat Agas.

“Mas kok di sini?” tanya itu yang malah justru Iris layangkan, membuat sebuah kerutan heran nampak di kening Agas.

“Aku dan Radhika sedang bekerja sama untuk satu proyek yang cukup besar. Kamu tidak lupa menambahkan jadwal pertemuanku dengan boss-mu itu bukan?”

Iris semakin meringis seraya merutuki diri sendiri yang melupakan satu hal itu, padahal dirinya sendiri yang tadi mengingatkan akan janji itu pada sang boss.

“Ah ya, maaf Pak. Bapak sudah di tunggu di dalam.” Iris kembali profesional dan bergegas bangkit dari duduknya hendak mengantar Agas ke ruangan Radhika, tapi lengan Agas lebih dulu menahan pergerakannya. Membuat Iris mendongak dan menatap Agas dengan kening mengerut. Namun bukan jawaban yang Iris dapatkan, melainkan sebuah pelukan yang membuatnya sontak menegang.

“Pak …”

“Aku mencintaimu, Iris. Bukan dia. Bukan pula perempuan yang lainnya. Tolong percaya.” bisik Agas terdengar meyakinkan. Membuat mata Iris memanas dan refleks mengangguk dengan tangan yang balas memeluk Agas.

“Maaf,” gumamnya di tengah tangis yang tidak bisa di tahan.

Seharusnya Iris tidak meragukan cinta Agas sejak awal. Dirinya sudah melihat bagaimana Agas memperlakukannya, bagaimana Agas menatapnya, bagaimana Agas tidak menutupi hubungannya, dan bagaimana Agas mengabaikan Kalea demi menjaga perasaannya. Tidak seharusnya Iris ragu di saat pria itu justru berusaha menunjukkan pada dunia bahwa Iris adalah kesayangannya.

Dari sana seharusnya Iris sadar bahwa tidak ada yang harus membuatnya tidak percaya diri apalagi rendah diri, Iris justru patut berbangga diri sambil mempertahankan perasaan Agas yang sekarang ini, bukan malah meragukan pria itu.

Kesayangan DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang