2. "Apa senyum-senyum?!"

10K 894 8
                                    

Votenya bestie ❤️

••

"Apa senyum-senyum?!" Dwi bertanya galak. Alisnya menukik, dahinya berkerut-kerut, belum lagi bibirnya yang ranum itu mencebik. Akbar yang menangkap gelagat kesal sang istri hanya mampu menggeleng pelan. Tapi senyum gelinya belum juga luntur. 

Menggoda Dwi adalah kebiasannya sejak zaman bocah dahulu. Apalagi kini dirinya sudah resmi menjadi suami wanita itu. Akbar tentu makin menjadi. Dia tidak mungkin melewatkan satu hari pun tanpa menggoda Dwi. Rasanya dadanya membuncah bahagia melihat kekesalan tiada henti pada wajah sang istri. 

"Wi, ambilin camilan dong, aku mau buka email nih, cari nafkah buat kamu. Tapi mulutku pingin ngunyah yang gurih-gurih. Tolong ya, istri." Astaga. Rasa-rasanya Dwi ingin tenggelam dalam tumpukan kaos milik Akbar yang tengah ia susun dalam lemarinya. Istri? Manis sekali mulut pria itu.

Sekuat tenaga Dwi berusaha terlihat biasa saja meski nyatanya dia tetap salah tingkah.

Akbar tidak melihat bagaimana wajah istrinya bulsing sampai kedua telinganya turut memanas. Sebab ia tengah mengfokuskan diri pada laptop didepannya, juga posisi Dwi yang tengah membelakangi tempat Akbar duduk. Dwi patut bersyukur karena Akbar tidak melihat semburat merahnya. Jikalau tertangkap mata pria itu, maka habislah Dwi diolok teman yang sialnya adalah suaminya. 

Begitu urusan beberes pakaian Akbar selesai, Dwi beranjak bangun. Sebelum keluar ia sempat melirik monitor dihadapan Akbar. Senyum kecilnya tersungging kala menangkap wajah serius sang suami yang menurutnya menambah wibawa Akbar berkali lipat. Belum lagi kacamata baca yang kini sudah bertengger di hidung mancungnya. Sebelum Akbar sadar tengah ia perhatikan, Dwi buru-buru beranjak keluar. Meninggalkan Akbar dengan kesibukannya yang kata pria itu tengah mencari nafkah untuknya. 

Kediaman orang tua Dwi sudah kembali sepi. Hanya beberapa sanak saudara dekat yang masih membantu ibunda Dwi beberes peralatan dapur dan lainnya. Pernikahannya barangkali menjadi ajang silaturahmi keluarga besar dari pihak ibun dan ayahnya. Itu sebabnya beberapa hari lalu rumahnya dipenuhi sanak saudara yang ia kongkon untuk membantu persiapan hajatan sekaligus resepsi pernikahannya. Banyak yang tak menyangka jika akhirnya ia dan Akbar memutuskan menikah. Apalagi Akbar dan Dwi sebelumnya tidak menunjukkan gelagat layaknya seorang pasangan pada umumnya. 

Tapi toh Akbar telah membuktikan kesungguhannya mempersunting Dwi. Dan Dwi juga tidak meragukan keseriusan Akbar kala pria itu melamarnya secara pribadi. Pun dengan ijab yang Akbar gaungkan di depan keluarga besar mereka, juga dihadapan Tuhan. 

Dwi mengambil sebungkus sale pisang, dan bapia Jogja yang ia sisakan di lemari kabinet dapur. Melihat stok buah yang masih melimpah, akhirnya Dwi memblender buah alpukat dan memberi taburan coklat bubuk sebagai toping. 

"Onty, Acel mau itu juga, boleh?" Acel, anak dari sepupu Dwi yang kini berusia lima tahun, menunjuk mug yang berada dalam genggaman Dwi. Seulas senyum ia terbitkan, Acel itu satu dari sekian banyak keponakan yang dekat dengannya. Ayahnya memiliki 8 bersaudara yang kesemuanya telah menikah dan memiliki anak. Sedangkan ibunya memiliki satu kakak dan satu adik. Jelas saja acara pernikahannya begitu ramai oleh sanak saudara yang hadir. 

"Ini isinya jus alpukat sayang. Acel memangnya suka alpukat?" Sebenarnya tanpa bertanya pun Dwi sudah tau kalau laki-laki kecil dihadapannya itu tidak menyukai segala jenis buah.

Begitu Dwi menunjukkan mug yang penuh cairan hijau, Acel langsung lari terbirit-birit meninggalkan sang Tante yang tertawa geli. "Ndak mau!" 

"Kado dari aku udah kamu pake belum?" Bila tadi Acel yang menyapa, kini giliran ibunya yang menghampiri Dwi. Di gendongannya tampak seorang bayi mungil jiplakan Acel tengah terlelap. Silfia, sepupu dari pihak ayah yang paling dekat dengannya. 

"Kado apa?" Dwi menaikkan sebelah alisnya bingung.  

"Kamu belum unboxing kado?" 

"Belum." Ibu dua anak itu mengerjap cepat sebelum seulas senyum jenaka terbit. "Oh iya, Akbar keburu unboxing kamu duluan ya Wi. Nggak papa deh, dipakenya nanti aja waktu kalian bulan madu. Dijamin makin uhuy." 

Bukan hal yang aneh mendengar celetukan demikian. Sebab sehari sebelumnya, Dwi maupun Akbar sudah kena godaan yang lebih parah dari ini. Apalagi hari kemarin itu seluruh keluarga besar masih berkumpul di rumahnya. Bisa dibayangkan bukan betapa malunya Dwi mendengar orang-orang disekitarnya nyeletuk begitu ia dan Akbar keluar berbarengan dari kamarnya. Padahal hari masih gelap. Tapi orang-orang seolah enggan melewatkan momen dimana ia dan Akbar keluar dari dalam kamar, sehingga mereka rela bangun pagi buta atau bahkan mungkin tidak tidur semalaman demi mengawasi pintu kamarnya. Benar-benar membuat malu bukan kepalang. 

Jangan tanyakan bagaimana reaksi Akbar. Suami Dwi itu pandai sekali menutupi wajah malunya. Tidak heran bila yang Dwi tangkap adalah suaminya begitu santai dan biasa saja digoda sedemikian rupa. Padahal dalam hatinya Akbar juga sama malunya. 

"Dapurnya jauh banget emang?" Baru saja Dwi meletakkan mug beserta camilan yang ia bawa, Akbar sudah bersuara. Air mukanya masam. Oh jangan lupakan kedua iris kecoklatan yang menatapnya tajam seperti tengah menghunus tubuh Dwi. 

"Ya kamu kira-kira ajalah kamarku ke dapur berapa meter." Ada-ada saja memang tingkah Akbar ini semenjak ia resmi bergelar suami. Sudah tidak terhitung lagi kejahilan Akbar meski baru dua hari menikahi Dwi. 

Dwi pikir setelah menikah, Akbar dapat sedikit mengurangi tingkah jahil yang ia tunjukkan padanya. Nyatanya makin menjadi saja si Akbar Harris Maulana ini. Tingkah jahilnya itu hanya ditujukan saat berdua saja dengannya. Bila diluar Akbar bakal berkamuflase menjadi pria berwibawa, tenang, dan tegas. Tidak sekalipun ia temukan wajah tengil si Akbar Harris Maulana ini ketika ia tengah 
berada di luar rumah. 

Sementara Akbar kembali sibuk dengan urusannya, Dwi memilih membuka kado-kado yang tertumpuk di sudut kamarnya. Bukan cuma miliknya saja ternyata, tapi juga kado yang diperuntukkan untuk Akbar terkumpul menjadi sebuah gunungan kado yang jumlahnya hampir lima puluh buah mungkin. Sebagian lainnya berada di kursi meja rias, keranjang baju, dan di dekat lemari pakaian. Betapa Dwi ingin segera membereskan semua kado-kado yang berserakan dimana-mana itu.  

"Bar, kado punyamu aku buka sekalian ya." Tanpa menunggu persetujuan laki-laki itu, Dwi segera membongkar kado yang tertulis untuk Akbar. Sebagian lainnya tanpa ada nama si penerima. Isinya macam-macam, dan Dwi begitu antusias membuka bungkusan demi bungkusan yang tidak sedikit itu. Sebagian besar isinya sama seperti yang dahulu pernah Dwi berikan pada teman-temannya yang menikah lebih dulu. Nyaur. 

Setelah selesai dengan urusan membongkar kado, Dwi berlanjut membereskan sampah bekas bungkus kado yang berserakan dimana-mana. Mengumpulkannya lalu segera membuangnya di tong sampah belakang rumah. Begitu ia kembali, Akbar sudah duduk lesehan di dekat perintilan kado yang Dwi buka tadi. Bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan benda laknat kado dari Silfia yang tengah pria itu pegang. Lingire berwarna maroon yang memegangnya saja Dwi sudah gemetar duluan. 

Sambil tersenyum jenaka, Akbar menggelar seonggok kain tipis itu dihadapan Dwi yang berdiri kaku. "Wi, nanti malem pake ini ya!" 

Sinting! Dia lebih sinting karena membiarkan benda itu tergeletak begitu saja, dan berakhir ditemukan oleh manusia paling jahil di dunia.

Bersambung

••

15-10-2021

Bonus nih 🤪

Bab kemaren rame amat sih, aku jadi nggak tega mau nunda update Minggu depan, hehew, pinter nya bestieku ❤️

Hari ini aku mau vaksin, doain ya temans, agak deg-deg ser gimana gitu😩

.

Salam Sayang Penajanuari ❤️

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang