7. "Mandi?"

7.3K 664 9
                                    


Akbar mengerjap saat tangannya tak menemukan keberadaan sang istri di sisi kasurnya. Otaknya memproses cepat, dan begitu sadar, ia langsung melonjak duduk. Pandangannya menelisik seisi kamar, namun tidak ia temukan wajah ayu rupawan sang istri. Baru setengah membuka mulut, perempuan itu muncul dari balik pintu kamar mandi.

Saraf-saraf tubuhnya langsung merespon cepat - kendati mata Akbar masih amat berat terbuka - begitu melihat sang istri melempar sesuatu ke arahnya. Tangannya menangkap dengan tepat, sebuah bathrobe yang hampir mengenai wajahnya bila tidak segera ia tangkap. Sepagian itu, Dwi sudah membuat Akbar hampir jantungan. Bahkan wanita itu sama sekali tidak menyambutnya dengan ucapan selamat pagi, apalagi morning kiss. CK, jangan harap. "Wi-"

"Mandi cepetan! Udah iqomah itu." Akbar berdecak, menggerutu lirih namun masih bisa didengar oleh Dwi yang tetap mengacuhkannya. Menurut, ia memakai bathrobe lalu menyeret dirinya ke dalam bilik kamar mandi. Menikahi Dwi berarti Akbar harus siap menghadapi sisi disiplin yang melekat erat dengan perempuan itu. Selelah apapun dan jam berapapun istrinya tidur, dia tetap otomatis melek ketika subuh menyapa.

Sementara Akbar mandi, Dwi mengeringkan rambutnya dengan hairdryer, tak sampai kering betul, yang penting tidak sebasah tadi. Ia lekas solat subuh berjamaah dengan Akbar yang mandi lebih cepat dari biasanya. Suaminya nampak kedinginan, Dwi menahan senyum gelinya. Tak sampai hati menertawakan sang suami.

Selesai salam, dilanjut dzikir dan doa, Akbar lekas membawa tubuhnya ke pangkuan Dwi, mencari kehangatan pada tubuh istrinya. Tanpa canggung, Akbar membelai serta mencium permukaan perut Dwi. Si empunya tubuh dibuat ketar-ketir, senewen juga panas dingin, tapi enggan menjauhkan kepala sang suami dari lipatan perutnya.

Dwi malah menyisir helaian rambut Akbar meski perasaan ragu sempat menyergap. Tapi akhirnya dia memberanikan diri, tidak apa, mantranya dalam hati.

Akbar bergumam lirih, seolah tengah menyapa keberadaan sang calon buah hati yang bergelung di rahim Dwi. Ia menyimpan harapan kecil tentang keturunannya yang mungkin suatu hari nanti hidup di dalam sana. Entah akan mirip siapa dia nanti, yang pasti Akbar tidak muluk-muluk meminta harus mirip dengannya.

"Kamu ngusel-ngusel gini bayinya nggak akan bisa langsung jadi sekarang, Akbar." Akbar tidak mampu menahan tawa gelinya. Dwi memang pandai kalau urusan merusak momen.

"Dingin.." Keluhnya, yang Dwi anggap setengah serius, setengahnya lagi bualan semata.

Akbar masih menyesuaikan diri dengan perubahan demi perubahan yang ia lakukan setelah menikah. Mungkin satu diantaranya-dan yang paling agak susah menurutnya adalah jadwal mandinya. Akbar yang kebiasaan mandi setelah matahari terik, kini mau tidak mau harus menggeser lebih awal kegiatan bebersihnya. Ya mau bagaimana lagi, sebegajulan apapun dirinya, solat tetap menjadi nomor satu dari urusan lainnya.

Dwi sudah tidak heran dengan keluhan sang suami. Ia sudah menebak akan mendapati keluhan demikian. Apalagi dengan udara Dieng yang menurutnya juga lumayan dingin ini. "Aku balur minyak kayu putih mau? Biar anget badannya ya?"

"Nggak, begini aja. Anget kalo deket kamu." Dwi tidak dapat menahan dengusannya, spontan tangannya juga menepuk bahu Akbar. "Modus!"

Perkiraannya memang tidak salah, pak suami satu itu memang hobinya memancing keributan dengannya.

Akbar tertawa kecil sambil mengeratkan belitannya. Entah kenapa bersama Dwi hal-hal sederhana seperti ini terasa hangat dan Akbar tidak mampu menahan diri untuk tidak bersyukur.

Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

"Udah ngabarin ibu hari ini sayang?" Dwi mengangguk sambil menyunggingkan senyum simpul meski ia tau Akbar tidak melihatnya. Karena lelaki itu masih betah melesakkan kepala di lipatan perut ramping miliknya.

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang