8. "Kalau belum halal gimana?"

8K 754 35
                                    

270 votes untuk part ini Gais!
Yuk bisa yuk, biar semangat update hihi🤪

___

Kesibukan Dwi semenjak menikah tidak jauh berbeda dengan semasa gadisnya. Hanya saja kini ada satu manusia lain yang harus ia urusi kebutuhannya, setiap hari. Nyatanya bersahabat dengan Akbar sejak bocah piyik tidak lantas membuat Dwi hafal semua kebiasaan pria itu. Banyak hal yang baru Dwi ketahui setelah tinggal bersama dengan Akbar.

"Wi, kaos kaki disimpan dimana?"

Lamunannya buyar seketika oleh suara Akbar dari dalam kamar, tidak sampai berteriak tapi cukup keras. Ia lekas meninggalkan tumpukan piring yang hendak ia cuci, beralih ke kamar yang pintunya setengah terbuka. 

Keduanya sepakat meninggali rumah lama orang tua Akbar yang telah direnovasi sedemikian rupa di beberapa bagian.

Lokasinya tidak terlalu jauh dari kediaman orang tua Dwi, bahkan masih satu RW. Mereka segera pindahan setelah liburan singkat di Wonosobo seminggu lalu.

Dwi melirik gemas Akbar yang berdiri di dekatnya, sigap ia membuka laci lalu dengan lincah mengambil sepasang kaos kaki hitam, menyerahkannya ke Akbar dengan kedua alis dinaikkan, "Ini, disini. Kemarin aku udah kasi tau lho ya." Jelasnya pelan.

Akbar terkekeh gemas. Ia menarik kepala Dwi untuk ia hadiahi kecupan manis di pagi ini. "Pintarnya istriku."

"Udah kan? Sekarang sarapan dulu."

"Sayang-" Paham bila Akbar akan menawar, Dwi menyambar cepat, "Nggak ada ceritanya kamu berangkat kerja tanpa sarapan. Harus sarapan titik." Ujarnya ngegas.

Untuk kebiasaan yang satu ini, Dwi sudah hapal diluar kepala. Akbar yang sering melupakan makan, Akbar yang tidak mau sarapan, Akbar yang tidak suka makan. Dwi sudah jengah mendengar aduan keponakan Akbar yang seringkali mengeluh Om kesayangannya melupakan sarapan.

Sekarang tidak lagi, Dwi akan rewel mengingatkan Akbar untuk makan. Dia juga sudah menyiapkan bekal supaya suaminya tidak perlu bersusah-susah mencari makan siang.

Akbar bergegas menyusul Dwi yang lebih dulu ngeloyor ke dapur. Setibanya di dapur yang menyatu dengan area meja makan, pandangannya disuguhi hasil masakan sang istri yang kini tampak sibuk mengambilkannya sepiring nasi beserta lauk pauknya tentu saja.

Menarik kursi, Akbar duduk tenang dan menerima sarapan yang kini telah terhidang di hadapannya.

"Wi, barengan yuk makannya."
Ajaknya berharap Dwi mau makan sepiring berdua. Menghabiskan separuh sarapannya yang menurutnya lumayan banyak itu.

"Nggak mau." Dwi menggeleng kuat, sembari mengangsurkan wedang jahe yang ia beri sedikit madu. "Habiskan Mas."

"Enak kan?" Begitu suapan pertama berhasil Akbar telan, Dwi dengan cepat memastikan pendapat sang suami mengenai hasil masakannya pagi ini. Ayam goreng serundeng, mi goreng, dan bacem tahu.

Tanpa sayur tentu saja. Akbar dan sayur adalah musuh bebuyutan yang entah kenapa alasannya. Dwi tidak tau dan belum pernah bertanya meski tidak bisa dipungkiri bahwa otaknya terus-terusan menerka sebab laki-laki itu tak menyukai sayur. Sejauh ini sih, paling mentok Akbar bisa menelan cincangan wortel ataupun potongan sawi yang ia campurkan ketika memasak mi instan. Lain dari itu, Akbar dipastikan menolak segala bentuk olahan sayur kalau-kalau Dwi kurang cerdas memanipulasi beberapa menu.

"Hm, enak."

"Kok Hm dulu? Nggak enak ya?" Tanyanya menelisik.

Akbar menggerang frustasi, "Yaampun sayang, ini beneran enak." Pria berambut tebal itu lantas kembali menyuapkan sesendok penuh nasi kedalam mulutnya sembari menyomot kerupuk udang yang menjadi favorit Dwi. Saking sukanya, nyaris tidak ada hari tanpa suguhan kerupuk udang di meja makan.

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang