13. "Makan kamu yang bener mah."

6K 610 30
                                    

"Kan, apa kataku! Jam segini buat gaduh, ganggu orang tidur kamu ini.. Mas." Dwi memulai repetan omelannya lantaran laki-laki yang telah sah menjadi suaminya itu membangunkannya di tengah malam dengan suara gaduh yang dibuatnya dari dapur. Dini hari, dan laki-laki itu kelaparan.

Dwi untungnya masih punya stok belas kasihan karena meski dilanda ngantuk berat dan tengah diacuhkan sang suami, ia tetap memaksakan diri untuk terjaga.

"Awas, kamu duduk." Didorongnya tubuh jangkung Akbar menjauhi kompor. Wajan dan kawan-kawannya Dwi ambi alih sepenuhnya. Pertama-tama yang ia lakukan adalah menguncir asal rambutnya agar tak menghalangi kegiatan masaknya kali ini.

"Makan gengsi nggak bikin perutmu kenyang kan?" Hardiknya santai. Dwi bukan istri jahat yang tidak memberi makan sang suami, melainkan Akbar sendiri yang memilih acuh tak acuh saat istrinya menawarkan memasakkan makan malam. Karena Dwi telah kenyang bukan main, jadi ia tidak akan makan malam kembali lepas makan di mall tadi.

Sebab itu Akbar pasrah saja mendengarkan luapan kekesalan sang istri tanpa berani menukas. Lelah, juga membenarkan dalam hati apa yang istrinya katakan. Ia memilih duduk, mengunci mulut.

Pun tak ada protes meluncur ketika menyadari pakaian istrinya yang kelewat terbuka sedang udara tengah dingin-dinginnya akibat hujan yang sampai kini masih meninggalkan rintik kecil. Akbar memilih bungkam, menelan protesnya karena tau dirinya akan kalah telak. Ia tampak tenang mengawasi pergerakan lincah Dwi sembari bertumpu dagu di atas pantry.

Dalam diam otaknya bekerja memikirkan seseorang yang mengiriminya email sore tadi. Tak dapat dipungkiri kalau rasa kecewanya pada sosok sang ayah, mengalahkan perasaan khawatir yang kini menyelimuti hatinya. Kepalanya berpikir keras. Sementara hatinya menepis segala kecewa yang bertahun-tahun ia pendam.

Sebesarapapun kecewamu, Dia tetap ayah kandungmu.

Akbar segera tersadar dari lamunan saat hidungnya dipenuhi harum masakan yang semakin membuat perutnya menjerit kelaparan. Rupanya Dwi telah menyelesaikan masakannya lebih cepat dari biasanya. Atau mungkin karena Akbar terlalu larut dalam pikiran sehingga tak betul-betul memperhatikan sang istri bertempur dengan alat-alat dapur? Atau karena Dwi memang agak tergesa dengan masakannya kali ini?

"Masih marah?" Kursi disebelahnya berderit, Dwi menatap lamat-lamat air muka Akbar yang mulai menyantap hasil masakannya, "Aku udah minta maaf padahal. Jangan lama-lama ah marahnya. Serem tau liat muka jutek gitu."

Tangannya mencomot kerupuk udang, lantas mengunyahnya dengan sedikit bar-bar. Kerupuk udang tak bersalah itu, menjadi sasaran kekesalan Dwi pada sang suami yang masih betah mendiamkannya.

Meski telah menghadapi hal yang sama entah ke berapa ribu kali, namun ngambeknya Akbar saat setelah menikah ini, agaknya lumayan membuat hatinya gundah. Jikalau dulu Dwi hanya perlu balik mendiamkan Akbar. Menghindar sebentar atau bahkan tidak menemuinya sama sekali sampai pria itu sendiri yang akan mencari-cari dirinya atau sebaliknya.

Kini, selepas statusnya bukan lagi sebatas teman, tidak mungkin kan dia berlaku demikian. Satu diantara keduanya harus bersedia mengalah. Jikalau tidak begini, mau jadi apa rumah tangganya.

Sekali lagi Dwi menyambar kerupuk udang serampangan, membuat toples plastik itu sedikit oleng. Untung tak sampai tumpah ruah kerupuk tak bersalah itu. Kali ini suara kunyahannya yang tidak cantik sama sekali itu berhasil menarik atensi Akbar yang lama-kelamaan risih mendengarnya.

"Wi, makan yang bener."

"Makan kamu yang bener mah." Dwi jawabi seringan kapas sembari menyunggingkan senyum penuh, puas.

...

Agaknya Dwi tidak akan lagi berani menyeletuk asal-salan seperti semalam. Memang terbuai, tetapi begitu selesai sekujur tubuhnya terasa pegal luar biasa.

Akbar yang mendengar keluhan sakit pinggang, punggung bahkan leher yang dikeluhkan Dwi pagi ini menanggapinya dengan tawa serenyah rengginang. Dwi menatap jengkel tanpa berani mengomentari.

"Beli lingire berapa?"

"Seratus."

"Bagus," Akbar kepalang cepat menanggapi ucapan sang istri membuat Dwi memberengut masam.

Namun dia enggan melepaskan diri dari kungkungan lengan Akbar. Ia malah makin mengeratkan diri. Menghirupi harum tubuh sang suami setelah seharian kemarin ia tidak diberi kesempatan untuk melakukan hal itu.

Dwi menyadari betul dirinya merindukan dekapan ini. Suara renyah Akbar yang menggodanya, meributkan hal yang seharusnya tak perlu diperdebatkan. Dwi rindu.. meski tak genap dua puluh empat jam ia diacuhkan oleh sang suami. Akbar dan eksistensinya di hari-hari Dwi nampaknya telah melekat begitu erat.

"Enggak lagi-lagi aku pakai gituan." Suaranya terendam. Spontan Akbar kembali tergelak, puas. Menimbulkan jejak basah diujung mata.

"Beli lingire berapa?" Tanyanya lagi setelah tawanya reda.

"Kenapa tanya?"

"Ck. Tinggal jawab kenapa musti balik tanya begitu."

"Ya kamu kepo banget!"

"Aku nggak keberatan kalau kamu beneran borong seratus lingire lho sayang."

Gila. Dwi bahkan sudah trauma sekali menggunakan pakaian kurang bahan itu. Pengalaman kali kedua menjajal lingire semalam memberi kenangan yang tidak indah sama sekali.

Tubuhnya benar-benar remuk redam setelahnya. Lebih parah dari kasusnya yang pertama yang hanya nyeri di tempat-tempat tertentu saja. Kali kedua, dan terakhir. Dwi mewanti-wanti dirinya untuk mengingat dengan baik pengalaman manis diawal tapi berujung pahit di akhir ini.

"Nanti aku pijet. Mandi yuk, aku masakin sarapan, mau?"

"Ambilin baju dulu."

"Mandi barengan aja, ya?" Rayunya disertai senyum yang mengembang sempurna. Entah kemana larinya sikap diam yang mengakuisi dia kemarin.

Niat memadamkan kekesalan Akbar dengan menyenangkannya memang berhasil. Dwi bahkan merasa dirinya perlu diberi thorpy karena ia sukses besar menjinakkan Akbar.

Akbar kembali merayunya dengan kecupan bertubi-tubi di pelipisnya.

"Nggak mau, nanti malah tambah kesiangan." Dwi kekeh menolak. Akbar tidak menyerah, ia sertakan hadist nabi yang menerangkan mengenai Rasulullah yang juga pernah mandi bersama istri beliau.

"Nggak mau! Liat jam berapa sekarang, buruan mandi!"

Akbar mengesah lirih, menyadari kalau waktu begitu cepat bergulir. Menghabiskan waktu dengan sang wanita terasa waktu berlalu begitu singkat. Akbar lekas menuruti titah, meski ia masih ingin memeluki wanita itu. Ia bergerak turun dari ranjang, dan melenggang santai tanpa repot menutup asetnya lebih dulu.

"MAAASS!" Tentu saja Dwi langsung berteriak heboh. Mungkin para tetangga di samping kanan kiri rumah mereka juga mendengar teriakkan menggelegar itu. Tapi Dwi tidak peduli. Dia masih syok dengan apa yang barusan dilihatnya.

"Bisa nggak sih ditutup dulu!" Dwi menggerang frustasi. Menutup mata kuat-kuat sembari menggigit bibirnya. Sialan betul Akbar ini.

Jantung, Dwi merasa organ itu nyaris copot karena detakannya amat kencang. Nafasnya mendadak tak beraturan hanya dengan melihat lelaki itu melenggang tanpa busana.

Otaknya yang suci itu harus menelan racun pagi-pagi begini. Sambil meraup pakaiannya yang bercecer, Dwi kembali menjerit meluapkan emosinya.

Sementara dibalik pintu kamar mandi, Akbar tergelak keras, lagi puas. Urat malunya putus total jika tengah berdua dengan perempuan yang tengah mencak-mencak itu.

...

Cian amat Wi 😩🤣
Tapi, mau dong dibagi lingirenya 😜

Yg jomlo, jangan ngiri ya, mereka memang lagi masa² Uenaaaakk...

Tunggu aja tuh konflik, siap mengguncang dunia pasutri baru ini 😜


...

Thankyou ya
Salam sayang Penajanuari ❤️

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang