4. "Hari ini aku mau ke kedai dulu. Kamu mau ikut?"

8.8K 766 3
                                    

Vote dulu yuk

••

"Hari ini aku mau ke kedai dulu. Kamu mau ikut?" Semenjak menikah tiga hari lalu, Akbar belum mengunjungi kelima kedai Mi ayam yang kini pundi-pundinya bakal sepenuhnya mengucur ke rekening sang istri. Maka sebelum dirinya bertolak ke Wonosobo esok hari, ia bakal mengunjungi kedainya hari ini. 

"Nggak. Aku mau packing." Dwi bergerak membuka gorden yang menutupi kaca jendela kamarnya. Masih pukul setengah tujuh pagi. Ia sudah selesai membuat sarapan. Tinggal mencuci pakaiannya dan Akbar yang hanya beberapa lembar saja karena sejak menikah ia belum sempat keluar rumah. Paling mentok hanya menyapu di halaman depan rumah, itupun hanya sebentar.

Kalau boleh jujur, Dwi masih malu bila bertemu orang lain, apalagi lingkup pertemanan ia dengan Akbar sama, teman Akbar Brati teman Dwi juga. Begitupun sebaliknya. Dan hampir 95% karyawan Akbar adalah pemuda di Desanya yang kesemuanya itu adalah teman akrab Dwi. Ia bukan malu menikah dengan Akbar, bukan. Tapi malu karena statusnya yang baru menikah. Entahlah Dwi juga merasa aneh dengan perasaan tak berdasarnya itu.

"Kamu ikut aku hari ini, packingnya nanti, sepulang dari kedai. Aku cuma mau sidak. Nggak akan lama." Putus Akbar.

"Bar-" 

"Mas, Wi!" Tegasnya. Tak mau dibantah. Dwi tengah melongok keluar jendela, posisinya membelakangi Akbar, tapi ia bisa membayangkan bagaimana raut muka Akbar saat ini. Tukang paksa, Dwi mendesis lirih. 

"Ngapain komat kamit disitu?" Akbar kembali bersuara saat menangkap bibir yang menjadi candunya akhir-akhir ini, bergerak tanpa suara. Ia berkacak pinggang di dekat ranjang memperhatikan sang istri yang entah melihat hal menarik apa diluar sana. Yang jelas, pemandangan Akbar toples, sama sekali tidak menarik minat Dwi. Perempuan itu masih melongok keluar jendela, sampai Akbar dibuat penasaran setengah mampus. 

Ia menghembuskan nafasnya pelan, sembari mendekati istrinya. "Dibiasakan panggil aku Mas! Umur aku lebih tua satu tahun dari kamu Wi." Iya Dwi tau kok. Tanpa perlu diperjelas lagi, ia tahu kapan manusia di belakangnya itu lahir ke dunia ini.

"Iyaya." Jawab Dwi sekenanya tanpa melihat Akbar sama sekali. 

Akbar menggeleng, lalu berdecak sebal mendapati respon yang sedemikian cuek,  Ia lantas membalikkan paksa tubuh sang istri agar menghadapnya, sebelah tangannya menjepit dagu, sementara satunya lagi, merengkuh pinggang Dwi mendekat, "Iya apa?" Tatapan matanya menajam, mengintimidasi Dwi. Terlebih saat Dwi hendak menjauhkan diri darinya, Akbar semakin mempererat rangkulannya agar sang istri tidak lepas dari jeratnya kali ini.  

"Ck. Iya Mas Akbar Haris Maulana, Suamiku!" Ujar Dwi penuh penekanan, yang dibalas tawa puas Akbar. 




••



Akbar mengoleskan gel pada rambutnya yang kering kerontang. Disebelahnya Dwi berdiri tengah memaut dirinya di depan cermin. Usai sarapan, keduanya lekas bersiap. "Bagus nggak?" 

Akbar menimbang sebentar, sebelum mengangguk yakin, "Bagus." 

Setelah menimbang-nimbang bakal menggunakan setelan seperti apa yang ia kenakan untuk kunjungan pertamanya ke kedai mi ayam Akbar usai resmi diperistri oleh pria itu, akhirnya Dwi menjatuhkan pilihannya pada overall kotak-kotak berwarna dasar abu tua. Dipadu hijab persegi, berwarna biru, senada dengan manset yang ia kenakan. 

Setelah yakin, kini ia bergeser pada meja rias yang memajang skincare dan makeup sederhana miliknya. Tidak banyak make up yang Dwi punya karena dirinya sendiri merasa kurang pandai memoles wajah. Meski kata Akbar, tanpa make up sekalipun tampilan Dwi sudah mencuri perhatian khalayak.
Dari pada Akbar menunggunya terlalu lama dan berujung ngambeknya pria itu, maka ia memilih membawa sebagian alat tempurnya kali ini dalam sebuah pouch kecil. 

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang