18. "Kok nggak cium aku?"

3K 290 14
                                    


"Kamu mau sarapan apa?" Dwi membuka kulkas dua pintu yang isinya penuh sayuran itu. Akbar berpikir sejenak lantas menjawab "Yang cepet aja, aku laper banget ini."

Dwi berdecak pelan sembari mengambil seikat kangkung dan dua butir telur. Memutuskan membuat tumis dan menggoreng telur yang tidak banyak memakan waktu, sesuai titah Baginda Akbar.

Sebelum menikah dengannya Akbar bahkan tidak masalah ketika harus berangkat kerja tanpa sarapan, karena sudah sejak kecil terbiasa tidak makan di pagi hari.

Itu dulu, sekarang ini bahkan Akbar tidak akan berangkat sebelum mengisi perut. Hal yang membuat ibu Luna berdecak kagum dengan kebiasaan sang keponakan yang bisa berubah secepat itu setelah hidup serumah dengan Dwi.

"Aku tinggal nyapu halaman depan ya." Dwi hanya berdehem mengiyakan dengan tangan yang sibuk mengiris bawang.

Akbar paling suka telur dadar dengan taburan bawang goreng jadi ia berniat menggorengnya lebih dulu, lalu dilanjutnya menggoreng telur dan menumis kangkung di wajan yang berbeda. Jangan sampai pria itu tantrum karena kelaparan, jadi Dwi harus bergerak cepat menyelesaikan masakannya. Semerbak harum telur dadar menguar ke seluruh penjuru rumah yang jendela-jendela nya sudah Akbar buka.

Bertepatan dengan Dwi yang memindahkan tumisan kangkung ke atas meja makan, Akbar masuk sambil melepas kaosnya yang sudah basah kuyup. Kadang ia heran, Akbar gampang sekali berkeringat, aktifitas fisik yang menurutnya ringan dan simpel, tapi kalau Akbar yang melakukan bisa berkeringat banyak. Tipe manusia yang kalau berkeringat bisa sampai benar-benar basah kuyup.

"Makan sekarang atau mandi dulu?"

"Makan lah, kelaperan lho aku ini." Katanya sambil berlalu.

Dwi hanya bisa menggeleng heran. Padahal biasanya juga sarapan jam tujuh lebih, setelah mandi, rapi dan wangi. Selagi Akbar melipir ke kamar mandi dekat dapur, Dwi mengambilkan nasi dari mejikom supaya tidak terlalu panas.

"Nanti sore ikut ngecek tanahnya Pak Carik ya. Aku kepikiran terus ini. Letaknya strategis, harganya juga masuk. Investasi buat si kakak nanti."

Akbar meneguk air putih sampai sisa setengah gelas. Memandangi ekspresi sang istri yang tampak biasa-biasa saja. Kemudian ia melanjutkan, "Kamu harus liat dulu, kalau kamu setuju aku mau langsung DP, ya sayang."

"Tadi Pak Carik nya WA, katanya nggak apa-apa kalau dibikin dua atau tiga kali bayar, yang penting bisa lunas dalam tiga bulan ini." Akbar berseru pelan. Masih mengawasi perubahan air muka Dwi yang tetap biasa saja.

Sementara Dwi tak benar-benar fokus mendengarkan. Fokusnya kini pada tubuh Akbar yang shirtless dengan rambut setengah basah itu membuat jantungnya berdentum tak keruan. Meski bukan hal baru melihat suaminya tanpa busana sekalipun, tapi pagi ini Dwi merasa ada yang berbeda dari dirinya ketika melihat Akbar yang hanya memakai celana pendek itu.

"Mau jus nggak?" Bahaya dekat-dekat begitu, takut tiba-tiba sisi lain dirinya muncul. Kan malu.

Akbar menggeleng, dahinya mengernyit begitu sadar mata istrinya menyorot gelisah, dan tampak lain. "Enggak, sini kamu duduk dulu."

Dwi merasa seperti disengat listrik ketika lengannya ditarik pelan, dan pandangannya di kunci oleh Akbar. Alamak, makin berdentum-dentum lah jantungnya. "Denger aku ngomong tadi?" Dwi mengangguk saja.

"Terus?"

"Apanya yang terus?"

"Kamu kenapa?"

"Emang aku kenapa?"

"Wi!"

"Nggak papa Akbar. Lagian kan itu uang kamu, hak kamu mau buat apapun juga, nggak masalah. Aku nggak berhak mau melarang-larang."

"Kok gitu ngomongnya?" Akbar tersinggung. "Sini liat aku."

"Kalau kamu lupa, aku ingatkan kalau sekarang kamu itu istriku, nggak ada lagi ini punyaku itu punyamu. Ini milik kita." Akbar menarik nafasnya pelan, memaku matanya pada sosok Dwi yang memandangnya takut. Tapi untuk kali ini Akbar perlu menegaskan sesuatu supaya hatinya lega.

"Semua yang aku lakukan harus ada persetujuan & melibatkan kamu. Itu kenapa aku ajak kamu, karena kamu harus tau kemana larinya uang yang buku dan ATM nya kamu pegang itu. Kalau kamu nggak setuju, ya aku nggak akan maju. Dan kamu berhak untuk nggak setuju atas apa yang mau aku lakukan. Jangan menahan diri kalau mau negur aku!" Tanda kalau Akbar sedang dalam suasana hati yang tidak baik, adalah tidak menyebutkan namanya.

Dwi mengaku salah kali ini. Asal bicara, asal ceplos tanpa memikirkan perasaan Akbar. Yaampunn..

Kenapa jadi begini..

"Maaf, maafin aku." Matanya mengembun. Hatinya sendu sekaligus haru, menyadari kalau laki-laki ini ternyata menghargainya dengan teramat. Dwi bahkan hanya diminta memanggil Akbar dengan sebutan Mas, yang sampai detik ini masih belum bisa sepenuhnya dilakukan karena macam-macam alasan.

Tapi lihatlah pria ini, ia dilibatkan dalam setiap hal yang dilakukan olehnya. Keberadaanya dihargai, pendapatnya didengar. Dwi tersentuh. Aih, beruntungnya ia bisa memiliki Akbar yang memperlakukannya sebaik ini.

Akbar diam saja memilih melanjutkan makannya. Ia perlu makan karena kalau perutnya lapar yang ada dia makin emosi. Akbar takut kelepasan bicara yang menambah keruh suasana.

"Mas, aku salah, aku minta maaf." Masih tidak ada jawaban. Dwi benar-benar diliputi rasa bersalah. Marahnya Akbar itu menakutkan. Dia bisa didiamkan, diacuhkan seharian penuh.

Dwi segera melesakkan tubuhnya ke pangkuan Akbar. Masa bodo harga diri. Yang penting laki-laki ini tidak marah lagi. "Mas, maafin aku. Jangan marah lagi ya, janji nggak ngomong gitu lagi."

"Maafin aku yaaa.." Dwi mengeratkan pelukannya ketika merasa sentuhan Akbar di pinggangnya.

"Nggak usah nangis." Sahut Akbar terkesan datar.

"Kamu marah, aku takut." Berteman sejak kecil, Dwi hapal betul emosi Akbar seringkali meledak, tidak terkendali. Meski tidak pernah membentak apalagi main tangan, tapi lidahnya bisa menjadi setajam pisau kalau tengah marah.

"Kalau masih mau nangis, turun. Aku nggak mau kena ingus kamu."

"Iya ini udah nggak nangis." Dwi menarik diri, sehingga kini ia bisa leluasa melihat wajah Akbar. Mata lelakinya kini menyorotnya hangat, Dwi sudah pernah bilang belum ya kalau Akbar itu tampan sekali. Tidak rela rasanya kalau ketampanan ini juga dilihat dan dinikmati selain dirinya. Aih, lebay sekali dirinya.

"Maafin aku yaaa.." Katanya lagi.

"Iya."

"Beneran dimaafin kan?"

"Iya, udah." Dwi menukikkan alisnya. Dimaafkan, tapi kok masih datar-datar begitu.

"Kok nggak cium aku?" Pancingnya. Mencoba mengurai ketegangan, padahal yang tegang hanya dirinya. Akbar benar-benar sudah memaafkan kok, tadi egonya hanya sedikit tersentil. Tidak marah juga. Tapi Dwi sepertinya panik karena raut mukanya yang sempat menegang tadi.

Satu kecupan Akbar labuhkan pada ubun-ubun Dwi yang masih betah menduduki pahanya. Dwi tidak puas tentu saja. Jadi dia yang berinisiatif mencium duluan bibir manis favoritnya meski dengan pipi semerah tomat.

Yes, Akbar berseru senang dalam hati. Ternyata harus dengan bumbu drama marah-marah dahulu, baru perempuan itu mau menunjukkan sisi agresif yang selama ini masih sukar ditunjukkan padanya. Akbar tersenyum di sela pagutannya yang semakin dalam.


...






Sudah..

Jangan dibayangin ya say..


See u next chapter

Votenya jangan lupa yaa 😚




Salam sayang penajanuari

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang