10. "Nanti sayang."

6.2K 619 13
                                    

WARN! DIBACA SAAT SUDAH BUKA PUASA!🔥

Vote dulu kuy!
Happy reading...

...

Dwi tiba di rumah menjelang Maghrib. Ia mampir ke rumah Luna, mengantarkan gadis itu. Niatnya hanya sekedar memastikan Luna sampai rumah dengan selamat, tapi malah berlanjut cerita ini itu dengan Ibu Luna, Tante Akbar-sampai keduanya lupa waktu. Mereka tak kehabisan topik menarik untuk dibahas. Dan bahasan mengenai Akbar, adalah yang paling banyak menguras waktu.

Begitu melihat wajah suaminya - yang diam-diam ingin ia uyel-uyel di saat genting seperti ini - Dwi langsung teringat Luna. Sebal sekali dia pada suaminya itu. Dan lebih sebalnya lagi, Dwi tidak pernah mampu melawan titah Akbar. Entah karena sudah terbiasa sejak dulu selalu menuruti segenap perintahnya, atau memang Dwi malas mendengar Omelan Akbar yang selalu mampu membuat moodnya terjun bebas.

Diletakkannya tas beserta paperbag sembarang tempat, lalu meraih punggung tangan Akbar untuk Salim.

"Kenapa bibirnya ditekuk gitu?" Akbar lekas menahan pinggang Dwi yang hendak buru-buru menjauhinya. Ia menelisik pupil mata sang istri yang enggan menatapnya. Jangan kira dia tidak peka dengan air muka perempuan yang membersamainya belasan tahun itu. Cukup sekali lihat, Akbar sudah bisa menyimpulkan perempuan ini sedang dalam mode senggol bacok.

"Nggak papa." Jawaban yang menimbulkan kerut di keningnya makin dalam, ia tidak percaya begitu saja pada kalimat singkat yang meluncur dengan mulusnya. Nggak papanya perempuan itu berarti ada apa-apanya. Alias lain dimulut lain di hati. Sukanya main teka teki.

Dwi menurunkan lengan Akbar, menitahnya untuk segera menutup tubuhnya. Akbar memilih menurut, menjauhkan diri setelah sebelumnya mencium singkat dahinya.

"Diangkat ambil bajunya, diangkat!" Peringat Dwi ketus. Yang membuat Akbar menghentikan gerakannya mengambil pakaian.

Ia membalasnya dengan tenang sambil menjangkau kaos yang berada pada tumpukan paling atas. Niat hati ingin mengeluarkan kaos polo shirt abunya-di bagian tengah lipatan baju, tapi lebih baik ia urungkan mengingat sang istri tengah badmood. Yang dilakukannya pasti akan menimbulkan omelan wanita itu lagi, meski tidak salah sekalipun.

Akbar melirik punggung istrinya yang hilang dibalik pintu kamar mandi sembari batinnya bertanya-tanya. Ada apa gerangan yang membuat perempuan itu misuh-misuh padanya. Akbar meruntut kejadian hari ini, dan seingatnya-ia tak memancing keributan apapun.

"Nggak jamaah kamu?" Dwi telah membersihkan diri, tubuhnya sudah lebih segar dan wangi. Blouse nya sudah ditanggalkan, digantikan daster model yukensi yang kala itu hampir dirobek Akbar saking tak sabarannya. Sejak kejadian itu, Dwi jadi agak trauma memakai daster yang panjangnya tak sampai lutut itu, hanya mampu menutupi setengah pahanya.

Tapi khusus malam ini, dia bertindak agak nekad. Otaknya sibuk menyusun rencana licik yang akan balik membuat kesal Akbar.

"Nanti sayang." Balas Akbar singkat tanpa melihat keberadaan sang istri yang berkacak pinggang di dekat pintu kamar mandi.

Dwi menatap tubuh yang sibuk mondar mandir itu dengan jengah. Apalagi ketika matanya menangkap ikatan sarung suaminya yang tak ubahnya gulungan asal-asalan. Ia yakin betul, sekali sentakan kain itu akan langsung melorot.

Pandai mengatainya ceroboh, tapi sendirinya juga tak jauh beda. Runtuk Dwi.

"Cari apa sih?"

"Jam tang- Wi?!" Akbar memekik, pandangannya otomatis menajam begitu mendapati Dwi dengan pakaian dinasnya itu. Bukannya tidak senang mendapati Dwi demikian, hanya saja waktunya sama sekali tidak tepat. Sepengetahuannya, sang istri tengah kedapatan tamu bulanan.

Dwi mati-matian menahan senyum puasnya. Akbar tidak tau-terhitung pagi tadi, saat dirinya asik tidur, Dwi sebenarnya sudah bersuci. Habis sudah masa haidnya bulan ini, halal dan sah-sah saja ketika mereka ber'ijma.

"Astaga.." Akbar menarik nafas panjang, "Sengaja banget mancing-mancing begini ya kamu!" Hardik Akbar, gantian ia yang berkacak pinggang.

Lemah sekali iman Akbar bila berhadapan dengan Dwi Senjani Ningrum. Tapi ketika semasa pertemanan mereka, Akbar tidak sekalipun memanfaatkan keadaan. Ia tau batasan dan selalu menjaganya. Meski ya tidak bisa dipungkiri bahwa matanya sesekali jelalatan ke temannya itu. Namun, sekali lagi, Akbar tau ia harus menahan diri.

Lain ceritanya ketika akad telah resmi terucap olehnya-yang kala itu diliputi tangisan haru biru dari semua tamu yang hadir.

Dipancing sedikit saja, Akbar sudah belingsatan tak keruan. Atau memang dasarnya semua pengantin baru demikian? Apa hanya Akbar seorang yang hampir setiap waktu seolah hendak menelan Dwi hidup-hidup?

"Apasih kamu? Masih mending aku pakai baju, dari pada nggak sama sekali.." Katanya. Bibirnya berkedut menahan tawa yang siap meledak.

"Astaghfirullah.." Akbar jawabi sambil mengusap wajah yang nampak kusut itu. Dwi semakin merapatkan diri ke sisi Akbar. Tangannya meraba sisi luar kaos yang dikenakan suaminya pada bagian dada. Sambil menyunggingkan senyum manisnya, Dwi kembali berujar, "Senyum dong ganteng, masa istrinya udah cantik begini situ malah cemberut gitu."

"Kenapa kamu centilnya pas lagi palang merah sih sayang?!" Segera Akbar jauhkan jemari nakal Dwi. Tak mau tubuhnya semakin kepanasan akibat ulah wanita didepannya ini. Seandainya Akbar tau kebenarannya, jelas Dwi dipastikan terkurung dalam kamar sampai esok hari.

"Ini kamu kenapa sih? Tadi badmood nggak jelas, sekarang nempel-nempel begini. Pusing aku.." Lanjutnya lagi.

Tawa Dwi berderai menanggapi protes sang suami. Lalu tanpa aba-aba, Dwi mencecap sepasang bibir tipis yang hendak melayangkan protesannya kembali. Tak ayal Akbar melotot kaget. Darahnya mengalir cepat menimbulkan denyutan jantungnya menggila. Akbar mengumpati reaksi dirinya yang seperti baru pertama kali berciuman. Hell, ini bukan first kiss, Akbar lebih dari hapal jengkal wanita dalam dekapannya. Tapi ini adalah kali pertama Dwi memulai. Ingatkan Akbar untuk menandai hari ini sebagai hari bersejarah selain tanggal pernikahan mereka.

Akbar menjauhkan diri, ketika merasakan pasokan udara pada paru-parunya mulai menipis. "Diajarin siapa, hm?" Selidiknya. Salah satu tangannya terparkir di punggung Dwi, mengusapnya pelan sambil mengatur nafasnya sendiri.

"Kamulah. Lagi yuk.." Dwi mesem-mesem, berniat kembali mendekat. Namun urung ketika Akbar menggerang frustasi, mengacak-acak rambutnya lalu ngeloyor keluar kamar. Akbar melupakan jam tangan kesayangannya yang hendak ia pakai tapi tak tau dimana ia menyimpan terakhir kali. Itu bisa diurus nanti, pikirnya.

Berlama-lama disana hanya akan membuat tubuhnya panas dingin, dan Kepala terasa pening-berdenyut-denyut. Semenjak bergelar istri, Dwi memang doyan sekali membuat Akbar cenat cenut. Tak ubahnya Akbar yang juga sering mengusili perempuan itu.

Berkebalikan dengan Akbar yang nano nano bercampur kesal, Dwi justru cengengesan karena berhasil membuat laki-lakinya misuh-misuh. Tawanya meledak mengingat air muka Akbar sesaat lalu. Namun tak berselang lama, karena didetik berikutnya Dwi lekas berlari panik mengejar motor Akbar yang baru akan tancap gas.

"Hati-hati sarungmu mlorot Mas!" Peringkatnya panik.

"Bodo amat!"

•••

Mon maap, abis bukber jadi lupa mau update 🙏🥺

Terimakasih banyak untuk semua yang sudah mendukung karya-karya ku, tanpa kalian aku nggak akan punya semangat menulis sebegini besar. 🙏❤️🥺

Jumpa di next part ya, terör aku kalau votenya udah 330+ tapi aku belom update 😘✌️

Salam Sayang Penajanuari ❤️

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang