17. "Izin"

1.6K 206 11
                                    

"Banguun.."

"Mas!" Dwi menepuk lengan Akbar, "Udah Subuh, ayo bangun." Tidak ada pergerakan apapun. Akbar tetap bergelung nyaman dengan dengkuran halusnya. Dwi beranjak mematikan lampu tidur dan menyalakan lampu utama yang membuat ruangan seketika terang benderang. Akbar dan dirinya sama-sama tak dapat tidur dalam keadaan gelap gulita. Tapi juga tidak bisa tidur ditengah ruangan yang terang benderang. Sehingga Dwi sengaja memboyong lampu tidur yang sinarnya temaram di rumahnya dulu, ke kediaman mereka kini.

"Ampuun, susah banget disuruh melek."

Sampai Dwi keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian dengan keadaan yang lebih segar, Akbar masih tetap tertidur tanpa terganggu dengan suara iqomah dari surau yang letaknya hanya berjarak dua puluh meter dari rumah mereka. Posisinya pun masih sama, memeluk guling dengan mulut sedikit terbuka. Dwi menempelkan telapak tangannya yang mendingin pada pipi kanan Akbar. Yang kemudian membuat sang suami berhasil terbangun dengan wajah kagetnya.

"Kebiasaan banget kamu tuh ya." Katanya serak. Kalau dulu, mungkin Akbar akan mengomel bila dibangunkan dengan cara mengejutkannya seperti itu, tapi kini dirinya hanya mampu mengelus dada sembari menahan semua ocehannya karena Dwi setelah menikah jadi teramat galak. Akbar mencium telapak tangan Dwi yang terasa dingin itu, lalu kemudian bangkit duduk. Memandangi figur sang istri yang bergerak menjauh menuju meja riasnya, melakukan ritual paginya bersama jejeran produk-produk skincarenya.

"Bangunin suami itu yang lembut dong sayang, dicium-cium gitu loh.."

Dwi melirik sebentar pada suaminya yang masih bermuka bantal itu, "Kamu digituin bukannya bangun malah tambah kebo. Udah cepetan bangun, udah iqomah itu." Akbar mesem, karena perkataan sang istri benar adanya.

Akbar tidak berlama-lama dalam membersihkan diri. Dwi juga sudah bersiap dengan menggelar sajadah, dan mengenakan mukena. Keduanya bergegas subuh berjamaah karena waktu yang hampir menunjukkan pukul lima lebih.

Akbar berbalik, mengulurkan tangannya untuk dicium Dwi yang mengenakan mukena soft pink pemberian darinya. Manis.

"USG nya lagi kapan?" Akbar menarik Dwi mendekat, lantas tangannya bergerak menyapu permukaan perut sang istri. Rasa hangat seketika melingkupi hati pasangan itu. Beribu-ribu syukur tak henti keduanya panjatkan. Atas segala nikmat yang diberikan sang maha kuasa.

"Hm, 1 bulan lagi, kenapa?" Nyaman sekali. Dwi menguap, elusan lembut ini membuatnya terbuai dan terkantuk-kantuk.

"Kok kenapa?" Akbar mengernyitkan dahinya. Pandangannya berubah menajam, tapi tangannya tetap bergerak menyapu-nyapu permukaan kulit perut Dwi. "Aku harus tau kapan istriku periksa lah. Kamu nggak boleh kesana sendiri. Harus sama aku. Kemarin kamu ke dokter sendiri tanpa sepengetahuan aku, aku merasa kecolongan lho Wi."

Dwi meringis mendengar intonasi Akbar yang terdengar menahan kesal. Kantuknya jadi hilang. "Santai dong Pak. Kamu tegang banget, perasaan aku cuma tanya kenapa aja.."

"Ck. Kemarin motorku keluar garasi dibawa kamu kan?" Seketika tubuh Dwi menegang. Tanpa dijawab pun Akbar tau apa yang dilakukan istri cantiknya itu kemarin saat dirinya sedang di Jogja. Akbar sengaja memasang CCTV yang mengarah ke halaman depan, tepat diatas sudut garasi. Sehingga ia bisa dengan jelas melihat kegiatan sang istri kemarin melalui ponsel miliknya yang terhubung dengan CCTV.

"T-tau darimana kamu?" Tanya Dwi gugup.

"Setelah ini aku nggak izinkan kamu bawa motor, dengan alasan apapun." Katanya tegas, tidak mau dibantah.

Dwi tau, kalau Akbar sudah mengeluarkan ultimatumnya, maka sulit sekali untuk membujuk pria itu untuk luluh . "Jangan gitu pliss.."

"Nggak ada Wi." Akbar kali ini tidak akan luluh dengan cairan bening yang menggenang di pelupuk mata sang istri. Dwi itu ceroboh, dan Akbar tidak akan memberikan izin pada perempuan yang tengah hamil itu.

"Nanti aku gimana kalau mau pergi-pergi?" Suaranya bergetar. Entah kenapa tapi dia merasa sangat sedih mengetahui kalau dirinya tidak diperbolehkan lagi membawa motor. Padahal ia terbiasa kemana-mana sendiri.

Akbar tidak tega, tapi dia harus mempertahankan prinsipnya kali ini.

"Aku yang anter." Akbar berkata lembut sembari memeluki Dwi yang tangisnya pecah.

"Kamu ingetkan dulu pernah jatuh pakai motor itu, aku nggak marah kan meskipun perbaikannya juga lumayan. Tapi kali ini kamu hamil sayang, jangan dulu ya. Nanti kemana-mana aku anter, oke?" Akbar menciumi Dwi yang kini tangisnya sudah reda. Keduanya saling bertukar tatap.

"Janji?" Dwi dari jarak sedekat ini dapat melihat gurat wajah sang sahabat. Meski melihatnya setiap hari, tapi ia tak pernah merasa bosan. Akbar selalu berhasil menarik seluruh atensinya. Hatinya menghangat melihat pancaran cinta dari laki-laki rupawan yang tengah memangku dirinya ini. Ah betapa beruntungnya ia.

"Janji!"

...

Maaf ya pendek dulu..

Ini untuk mengobati rindu kalian ke Akbar-Dwi..

Maaf menghilang beberapa lama..
Aku baik, terimakasih yang sudah khawatir ke aku..
Terharu sekali mendapat banyak pesan dari kalian.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya. See u



Salam sayang penajanuari🤍

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang