3. "Liburan ke Jogja mau?"

8.7K 825 6
                                    


Vote dulu bestieku ❤️

~

"Liburan ke Jogja mau?" Dwi mengangkat bahunya acuh. Akbar baru pulang usai mengikuti jamaah Maghrib di surau dekat rumahnya. Sedangkan Dwi tengah menyiapkan makan malam pria itu. 

"Terus kamu mau kemana?" Sebutir telur ceplok, mi goreng, dan ayam krispi terhidang dihadapan Akbar. Lengkap dengan nasi yang masih mengepul asap, juga segelas air putih. Dwi hafal diluar kepala menu makanan apa saja yang Akbar tak sukai. Sayur. Akbar anti makan sayur. Itu sebabnya Dwi berniat mengolah sayuran agar bisa diterima di lidah Akbar yang menurutnya aneh itu. 

"Wonosobo, aku mau kesana." 

"Tapi harus mau pake mobil lho ya. Aku males bawa motor kesana." Akbar mulai menyuap masakan istrinya. Dulu, sebelum menikah, Akbar harus curi-curi kesempatan ketika ingin mencicipi masakan Dwi. Karena perempuan itu enggan menuruti selera Akbar yang berlainan dengan seleranya. Kalau Dwi suka sayur, Akbar kebalikannya. Dwi tidak suka sop, kecuali bila diberi tulang kambing ataupun daging ayam. Sedangkan Akbar, bakal makan sayur meski sedikit, bila diolah menjadi sop. 

Dwi mengangsurkan segelas air putih hangat, lalu duduk di depan Akbar persis. "Motoran aja, aku yang bawa nanti." 

"Ya udah sana berangkat sendiri." Dwi mendelik. Yang benar saja suaminya ini. Dia yang menawari liburan, masa dirinya dibiarkan pergi sendirian. 

"Naik motor aja kenapa sih? Lagian kamu juga pernah kesana motoran sama temen-temen mu itu. Apa bedanya coba?" 

"Ya bedalah, mereka temenku. Yang mau kuajak jalan itu kamu, istriku. Jelas beda." Akbar meneguk air lebih dulu sebelum melanjutkan. "Jalan ke sana lebih nyaman pake mobil sayang. Udaranya dingin lho, hujan terus nanti. Nggak memungkinkan kalau motoran, yang ada kamu flu sampai sana." 

"Sampai sini kamu paham ya?" Lanjut Akbar.

Tidak menunggu jawaban Dwi, Akbar lekas membawa piring bekas makannya ke westafel, lalu mencucinya dengan cepat. Dwi masih duduk di kursi meja makan yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat Akbar berdiri. Dengan wajah kesalnya, perempuan itu beranjak meninggalkan area dapur yang menyatu dengan meja makan, sambil menghentakkan kakinya. 

Salah satu perbedaan yang akhir-akhir ini keduanya ributkan adalah mengenai selera berkendara. Bila Dwi lebih suka naik motor, maka Akbar akan selalu menggunakan mobil bila akan bepergian bersama Dwi. Karena menurut Akbar yang notabene sudah resmi menyandang gelar suami, bepergian dengan roda empat jauh lebih nyaman dibanding menggunakan sepeda motor. Apalagi tujuannya kali ini jelas bukan tempat yang dekat. Dwi bakal duduk enak di jok empuk, terlindung dari panas terik atau hujan yang sewaktu-waktu bisa datang. Akbar ingin Dwi nyaman dan aman tentu saja. 

•••



Ba'da isya, saat Silfia dan keluarga kecilnya pamit pulang, Dwi masih enggan berdekatan dengan Akbar yang juga turut mengantarkan kepulangan Silfia. Ia terus-terusan sok sibuk dengan kedua keponakan kecilnya yang hendak meninggalkan rumahnya.


"Pamit pulang ya Onty, jangan lupa kasi Kenzo temen main." Silfia menggerakkan tangan kanan anaknya yang masih berusia delapan bulan, kearah Dwi yang berdiri didekatnya.


Dwi merendahkan tubuhnya agar bisa sejajar dengan stroler yang diduduki Kenzo. "Ada Mamas Acel yang siap nemenin Ken main ya nak ya? Ken mau robot yang kemarin dimainin Adam ya nak? Iya? Ooh boleh kok sayangnya onty. Nanti onty belikan ya." Kaki gembul Kenzo tak luput dari towelan jari lentik Dwi. Membuat bayi delapan bulan itu belingsatan geli. Ooh jangan lupakan pipi Ken yang luber kemana-mana itu. Dwi menciumnya berulang kali sampai bayi itu merengek risih. 


"Wi!" Tegur Silfia tak terima anaknya jadi sasaran sang sepupu. Ia cepat-cepat menjauhkan Kenzo sebelum terlanjur mewek. "Bikin sendri sana!" 

"Bikin-bikin! Dikira tahu bulat main bikin aja." Dwi cemberut. Lantas kembali berdiri tegak dan memandang geram Silfia. Silfia tertawa ngakak, membuat Dwi bertambah geram sekaligus jengkel pada sepupunya itu. Ia balas dengan menimpuk lengan sang sepupu menggunakan tangan kirinya. 

"Dah lah, nggak pulang-pulang jadinya ini, Bye bye onty, bye bye uncle, Nini, Aki." 

Begitu mobil yang dikendarai suami Silfia meninggalkan area halaman, ia dan sang ibunda beranjak masuk kedalam rumah, meninggalkan Ayah dan Akbar yang masih bertahan di luar. Padahal suara rintik hujan mulai memenuhi pendengaran. Udara di desa mereka jelas bakal lebih dingin dari malam-malam sebelumnya yang cerah menawan. Dwi bahkan sempat melihat langit bertaburan bintang malam kemarin. 

"TV nya dimatikan Wi." Rumah terasa sepi usai beberapa waktu belakangan ini selalu ramai oleh sanak saudara yang berkumpul.

"Ibu minta cucu yang banyak ya Wi, biar rumah rame gitu lho." Dwi hanya mendengus lirih. Tangannya sigap membereskan toples-toples yang tercecer di ruang tengah. "Iyain aja." 

"Punya anak semata wayang, mantu juga anak satu-satunya." 

"Yang kemaren maksa-maksa buat nikah sama Akbar siapaa? Yang bilang 'Akbar doang yang bisa bikin hati ibun luluh' siapa?" Renjani sontak tertawa. Ia menggeleng pelan. Anak semata wayangnya adalah duplikatnya kala muda dahulu. 

"Ya wis sana, ibun mau istirahat. Ingetin ayah jangan lama-lama di luar Wi. Hujan begini, masuk angin nanti." Dwi mengiyakan. 

Teringat Akbar yang membawa ponsel, Dwi akhirnya memilih jalan ninja dengan mengirimi pria itu pesan singkat dari pada harus kembali ke depan. Lagipula ia tengah malas melihat wajah Akbar yang sayangnya tidak bisa ia hindari. Jadi sebelum pria itu kembali, Dwi segera mengoleskan skincare malamnya, mengganti pakaiannya dengan piyama yang lebih nyaman, mematikan lampu utama dan menyisakan lampu kecil di meja belajarnya, lalu bergegas naik ke atas dipan, dan berusaha untuk segera terlelap. 

Rencana untuk menghindari Akbar nyaris berhasil. Kalau saja Akbar tidak mengusiknya dengan menimpakan sebagian tubuhnya pada Dwi. Menjadikan tubuh kurus Dwi bak guling hidup. Ia risih tentu saja, tidak terbiasa dengan perubahan status yang kini terjadi antara ia dengan Akbar. Bertahun-tahun mengenal Akbar sebagai sahabat, lalu kini laki-laki yang hanya berbeda satu tahun darinya itu telah menjadi sosok seorang suami.

Orang yang bakal dimintai pertanggungjawaban atas dirinya kelak.  Orang pertama yang Dwi lihat sebelum dirinya menjemput mimpi, juga orang pertama yang ia lihat ketika bangun. Akbar, sahabatnya, teman bermainnya kala hidung mereka masih sering mbeler, kini mereka tidak lagi bermain anak-anakkan dengan boneka Winnie the Pooh atau Poh seperti masa kanak-kanak dahulu. Melainkan benar-benar menjadi sepasang suami istri yang besar kemungkinannya bakal memiliki anak sungguhan. Bak seperti doa yang pada akhirnya terwujud.

"Mas!" Ujar Dwi tegas. 

"Hmm." 

"Sebelahmu masih lega." 

"Hmmm." Dwi menyerah. Ia memilih diam dan memejamkan matanya kembali. Ia tahu manusia di sebelahnya ini belum sepenuhnya menjemput mimpi. Akbar hanya pura-pura tidur tentu saja. Kali ini entah apalagi tingkah usil yang Akbar perbuat. Dwi tidak mau meladeninya apalagi sampai tertangkap jebakan Akbar. 

"Baju yang aku minta kamu pake tadi siang mana?" Nah. Benarkan. Dwi sudah menduga hal demikian akan terjadi bila ia tidak segera memejamkan mata lebih awal.

Dwi membuka kedua matanya yang sudah terkantuk-kantuk, sesaat ia melirik jam dinding yang letaknya persis diatas kusen pintu kamar mandi. Pukul setengah sepuluh malam.

"Aku buang." Dwi berujar diiringi senyum jahatnya. Yang demikian tidak menyurutkan niat Akbar, justru pria itu makin mengeratkan pelukannya pada Dwi. Lalu dengan dada yang berdentum cepat, Akbar membawa bibir ranum Dwi untuk menyecap manisnya kepingan surga duniawi. Awalnya Dwi kaget, tapi sesaat kemudian ia turut mengimbangi bibir Akbar yang bergerak diatasnya.  

•••

20.10.2021

Request 150 votes untuk part ini boleh kali ya☺️

Silakan komentar disini👉

.

Sampai jumpa bab depan
Salam Sayang Penajanuari ❤️











Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang