12. "Istri malah seneng kalau suaminya..."

6.5K 638 37
                                    


Kasih aku vote dan komen ❤️
Selamat membaca...

...

Akbar tidak mampu menahan decakannya ketika menyadari meja kerja berukuran satu setengah meter miliknya dipenuhi map beserta kertas-kertas lain yang saling berserakan. Tidak terhitung lagi sudah berapa kali dalam sehari ini umpatannya meluncur. Pelampiasan stressnya karena laporan-laporan itu musti ia cek satu persatu sedang deadline-nya sudah sangat dekat, kurang dari dua hari terhitung dari hari ini.

Memegang amanah kebendaharaan desa mengharuskannya lembur, setidaknya minimal lima hari dalam satu bulan-demi menyelesaikan pekerjaannya yang hampir tak ada akhirnya.

Selain karena memang dirinya masih tergolong baru-dengan masa kerja yang baru akan memasuki tahun pertama, sehingga dalam beberapa hal Akbar masih harus berkonsultasi kesana kemari dulu karena pengetahuannya yang masih terbatas.

Tak jarang pula ia membawa sebendel tugas yang belum terselesaikan ke rumah-sebab malas lembur sendirian di kantor. Lagipula ada Dwi yang akan berubah super ceriwis ketika ia masih bekerja diluar jam kantor. Mengingatkan ini itu supaya lemburnya tidak berakhir sakit.

"Bar, dicariin orang tuh." Dika, teman sejawat Akbar, menginterupsi. Usianya lebih tua satu tahun darinya. Bedanya, Dika ini belum menikah, boro-boro menikah, ayang saja tak punya. Begitu curhat Dika padanya.

"Siapa?"

"Dari sebelah. Bahas yang kemaren itu kali." Lipatan di dahi perlahan mengendur, Akbar mengangguk pelan sebelum mengatakan, "Oke, suruh tunggu bentar."

Sebelum menemui tamunya, Akbar membereskan kekacauan itu seadanya-ya seadanya. Asal tumpuk, asal tak berserakan, yang terpenting, meja kerjanya masih layak dilihat. Begitu pikirnya.

"Siang Pak Akbar, Anita dari desa Kedungwuluh." Sapa perempuan berkemeja batik disusul uluran tangannya. Akbar tersenyum formal sebelum membalas salam itu.

"Saya kemarin hubungi Bapak, tapi tidak ada jawaban sampai sekarang. Karena ini urgent jadi saya putuskan menemui Pak Akbar langsung. Mohon maaf ya Pak, mengganggu waktunya sebentar." Senyum sopan Anita terulas. Akbar menyembunyikan ringisan tak enaknya.

Setelah menikah dan tinggal bersama Dwi, intensitasnya memegang ponsel ketika di rumah berkurang banyak. Ia tak lagi keberatan ketika mendiamkan benda canggih itu selama berjam-jam. Mungkin karena objek yang selalu menyita perhatiannya berada dalam radarnya langsung.

"Nggak apa mba Anita, mari silakan duduk." Keduanya larut dalam sesi diskusi yang lumayan alot. Tidak jauh-jauh dari masalah laporan keuangan pastinya. Karena mereka bergelut di bagian yang sama.

Anita pamit usai satu jam lebih berdiskusi dengan Akbar. Lumayan membuat kepala tak keruan dengan obrolan şatu jam itu. Kantor lumayan sepi, karena jam pulang sudah lewat belasan menit lalu. Sisa Akbar dan beberapa staf yang masih berkutat dengan tumpukan pekerjaan.

"Pengantin baru jangan sering-sering lembur Bar, kasian istri di rumah." Kelakar salah satu rekan ketika Akbar hendak kembali ke ruangannya. Candaan seperti ini sudah sering ia dengar semenjak statusnya menyandang gelar suami. Apalagi dia termasuk junior, otomatis menjadi bahan godaan para tetua disana.

"Istri malah seneng kalau suaminya lembur terus Pak. Saldo nambah digitnya kan bungah itu." Dwi kini punya peran krusial, berdaharawan rumah tangga. Apa-apa yang berhubungan dengan duit hasil banting tulang sang kepala rumah tangga, berada dalam pengendaliannya. Tak tanggung-tanggung, Dwi mengajak Akbar berdiskusi terkait kemana saja uang itu akan digunakan di malam yang seharusnya menjadi malam pengantin mereka. Aih, bila mengingat kejadian itu, Akbar serasa hendak menarik kedua pipi tembem istrinya. Lalu menenggelamkan kepala wanita itu di ketiaknya sampai berteriak minta ampun.

Our Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang