DUA PULUH SATU.

2.6K 354 30
                                    

Saat di pertengahan perjalanan, tiba-tiba bus 01 dan 02 berhenti hingga mengharuskan bus 03 dan seterusnya ikut berhenti. Mereka yang ada di dalam bus mulai bertanya-tanya ada apa, hingga menimbulkan suara ricuh. Apa lagi suara para gadis yang mengganggu.

"Sica bangun ihh!!" Ucap Gigi sembari menggoncang pelan bahu Sica.

"Engg... Kenapa?" Tanya Sica dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Iya, ayo bangun, Lo mau keluar nggak?!" Tanya Gigi.

Sica menegakkan punggung nya, gadis itu menatap ke sekitar bus yang sudah kosong. Hanya mereka berdua yang tersisa di sini.

"Yang lain nya kemana?!" Tanya Sica bingung.

"Itu, mereka pada keluar. Guru-gurunya juga pada meriksa." Balas Gigi sembari menoleh ke arah pintu. "Gue kepo njir, pengen liat!" Lanjut gadis itu rusuh.

"Loh kok pada ikut turun sih cewek nya? Emang guru nya pada kemana?! Nggak ada yang larang gitu?! Kalo ada apa-apa gimana coba?!" Tanya Sica pada Gigi yang saat ini tidak bisa diam karena ikut penasaran.

"Nggak tau, tadi supir sama bu Endang langsung turun setelah nerima telepon!" Terang Gigi, "Ikut turun yu Sic, penasaran gue!" Ajak Gigi pada Sica.

Sica menggeleng cepat. Mana mau ia turun, yang ada dirinya malah terkena pukulan mereka yang sedang berkelahi nanti. "Gak mau ah!" Tolak Sica.

"Ya udah kalo lo gak mau, gue turun sendiri aja." Sebelum Sica bisa mencegah, Gigi sudah terlebih dahulu keluar dari bus.

Sica tertegun. Sebenarnya ia panik, di dalam novel kan tidak di ceritakan kalau cewek nya juga ikut turun dari mobil. Yang turun itu hanya Sabrina dan Vika.

Ah tentu aja yang di sorot itu hanya mereka yang miliki peran penting didalam cerita. Tapi, mau sepenting apapun, jika mereka bertarung dengan sekelompok orang yang membawa senjata, mereka akan terluka parah. Jika tidak salah ingat, sekelompok orang jahat itu adalah orang suruhan geng Sidar yang berpura-pura menjadi preman. Mereka merasa tidak terima karena ketua geng mereka di pukuli oleh Bara dan di permalukan oleh geng Afca.

"Njir, bingung juga. Gue mesti ikut turun nggak ya? Gue takut kenapa-napa kalo misalnya gue turun." Gerutu Sica bingung. Sica ingin ikut turun dan menonton, tapi jika ada apa-apa, siapa yang akan menyelamatkannya.

"Liat jangan, liat jangan? Bodo ah gue liat aja!" Gumam Sica dan mulai beranjak menuju luar bus untuk melihat apa yang terjadi.

•°•°•°•

"Serahin barang-barang kalian!" Ujar Pria berpakaian preman itu.

Semi mengerut kan kedua alis nya. " Lah? Buat apaan? Situ malak?" Tanya Semi.

Pertanyaan Semi barusan malah memancing emosi tujuh orang lainnya. "Bacot lo bocah! Jangan banyak bacot atau gue bunuh nih cewek!!" Teriak orang yang kini menyandera Vika.

"Hiks... Hiks... Daffa takut.." lirih Vika sembari menangis kejer.

"K-kalian t-turutin aja y-ya? D-dari pada n-nanti mereka bunuh aku hiks hiks." Ujar Vika sembari terus menangis.

"Tuh denger! Nurut aja sama gue!" Teriak yang lainnya.

"Enak banget lo ngomong!! Di sini bukan cuma lo yang rugi tau gak!!?" Teriak Sabrina tidak terima.

"K-kamu j-jangan egois Sabrina! Aku lagi dalam ke adaan kaya gi-gini. Se-seharusnya kamu ngalah aja!!" Ujar Vika berani.

"Kami turuti, anda lepas dulu murid saya." Ucap pak Bondan yang saat ini tengah melindungi murid-muridnya yang lain.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Penghancur Suatu Alur Cerita ( REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang