Duapuluh

779 30 4
                                    

Alira menatap keluar jendela taxi yang berjalan tidak menuju ke rumahnya, keempat roda yang terus berputar tanpa tujuan itu membuat supir taxi tengah bertanya-tanya kemana akan membawa tuannya, pasalnya sudah tiga puluh menit berlalu dan Alira belum juga menentukan tujuannya, wanita yang kini tengah menatap kosong jalanan kota yang mulai ramai dengan air mata yang kerap kali meluncur begitu saja membuat supir taksi tersebut mengurungkan niatnya untuk bertanya.

Dering ponsel Alira terdengar nyaring di dalam taxi yang sejak tadi hening, nama Rafael tertera disna namun ia enggan hanya untuk sekedar mencari dimana letak ponselnya, hingga dering berhenti, Alira bahkan tidak merubah posisinya, masih ditempat yang sama dan pikiran yang kemana-mana.

Alira memejamkan kedua matanya, rasa sesak yang semakin menyergap dadanya membuatanya harus menghela nafas berkali-kali, fakta bahwa pacarnya adalah sepupu suaminya dan Alvian yang berjuang dengan rasa sakitnya tanpa sepengetahuan dirinya membuat rasa menyesal menggerogotinya hingga rasanya ia hanya ingin menghilang.

Taxi berhenti bahkan sebelum Alira  mengatakan stop, wanita itu mengedarkan pandangannya kali-kali terjadi sesuatu di depan, namun hasilnya nihil, ia terkejut kala seseorang memasuki kursi penumpang. Ia terdiam bahkan sebelum menyuarakan rasa protes pada supir taxinya.

"Kau?"

"Jalan pak!"

Alira menghela nafas pelan, wanita itu lupa bahwa dirinya pergi bersama Rafael tadi dan yang pasti mobil pria itu mengikuti taxinya. Oh bodoh sekali dirinya.

"Aku ingin pulang."

Alira bersuara dengan menatap Rafael, namun pria itu hanya diam dan fokus menatap ponselnya.

"Pak antar ke..."

"Sesuai alamat tadi Pak, jalan terus."

Alira mendelelik, wanita itu akhirnya mengalah, ia hanya tidak ingin membuat suasana hatinya semakin buruk jika harus meladeni pria tak terbantah yang duduk disampingnya, ia kembali ke posisinya menatap keluar jendela, jalanan yang sedikit padat terekam jelas dalam netranya. Suasana pagi yang membuat wanita itu perlahan menutup kedua matanya.

Alira mengerjapkan kedua kelopak matanya, mencoba menelisik ruangan asing yang menyambutnya, ia kemudian bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang, sebuah kamar luas yang sepi. Pikirnya.

Kedua kaki Alira menapaki lantai yang sedikit terasa dingin, ia berjalan menuju ke sebuah jendela besar yang menyuguhkan pemandangan alam yang masih terlihat alamai dan segar. Sangat segar untuk menenangkan pikirannya yang ruwet.

Alira membalikan badannya saat seseorang terlihat membuka pintu dan Rafael menampakkan dirinya beberapa detik kemudian dengan sebuah nampan yang berisi karbohidrat dan beberapa makanan pelengkap lainnya.

Alira kembali menatap keluar jendela, pemandangan alam yang masih alami membuatnya merasa sedikit tenang, di belakangnya Rafael menatap punggung Alira yang nampak rapuh baginya.

"Makanlah."

Suara Rafael bersamaan dengan suara pintu yang tertutup. 

Alira menatap nampan yang tadi dibawa Rafael, perutnya yang berbuyi tidak bisa membohongi bahwa ia sangat lapar sekarang, akhirnya Alira memutuskan untuk mengambil nampan tersebut dan berjalan menuju ke balkon, menikmati makanannya disana.

-oOo-


Alira memutuskan untuk keluar dari kamar karena sejak ia membuka matanya, ia hanya berdiam diri di dalam kamar villa tersebut, Rafael hanya datang mengantar sarapan, setelahnya pria itu bahkan tidak menunjuukan batang hidungnya sedikitpun membuatnya sedikit khawatir, bagaiman jika ia ternyata ia ditinggal sendirian, ah ia akan segera memenggal kepala Rafael jika itu menjadi kenyataan.

un incidenteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang