Bab 2a

2.3K 450 27
                                    


Ruangan sepi, angin menerpa jendela yang terbuka dan membuat gorden berkibar pelan. Rasa dingin menerpa bahkan tanpa pendingin ruangan karena letak rumah di kaki gunung dan tepat berada di pinggir danau. Pohon-pohon lebat mengelilingi rumah seperti pagar yang dipasang rapat. Tidak ada tetangga atau rumah lain yang dekat, sepanjang mata memandang hanya ada hamparan pepohonan hijau.

Sekilas, rumah itu terlihat seperti rumah kuno dengan dinding batu dan bentuk atap meruncing di tengah dan tinggi. Ada undakan dari batu, sebelum menginjak teras yang berlantai marmer hitam. Bentuk bangunan yang sederhana, tidak sesuai dengan interior ruangan yang elegan. Ada sofa kulit, televisi layar lebar, dan dapur kecil yang rapi tepat di samping ruang tamu.

Si pemilik rumah berdiri di pintu ruangan yang paling belakang, menatap sesosok tubuh yang terbaring di ranjang. Perban menutup dari ujung kepala hingga kaki, dan sedikit pun tidak terlihat wajah si pasien. Ventilator berdengung pelan, bersebelahan dengan mesin infus. Sama sekali tidak ada pergerakan dari sosok di atas ranjang.

"Bagaimana, Dok?" tanya laki-laki berambut panjang sebahu yang dikuncir ekor kuda. Wajahnya penuh cambang panjang dan menyamarkan ketampanan. "Sudah hampir tiga bulan seperti ini."

"Kamu tidak sabar, Juan. Dia sedang berusaha untuk bertahan hidup." Seorang laki-laki awal lima puluhan mendekati ranjang dan mulai memeriksa. "Kita sudah mengobati yang luka, menyambung kembali tulang retak dan mengoperasi kepalanya. Sekarang yang kita tunggu adalah kesadaran dia untuk hidup kembali."

"Apa menurutmu dia ada kemauan untuk itu?"

Si dokter menatap laki-laki gondrong itu dan mengangkat sebelah alis. "Tergantung kamu."

Juan ternganga. "Aku?"

"Iya, karena di sini teman dia satu-satunya adalah kamu. Jadi, harus kamu yang memberinya semangat."

Sepeninggal si dokter, Juan meraih kursi di pojok ruangan dan membawanya mendekati ranjang. Ia menatap seraut wajah yang tertutup perban dan alat bantu pernapasan. Tangannya mengusap pelan dahi wanita itu dan berbisik lembut.

"Kamu harus sembuh, dan kembali hidup. Sudah lama kamu tertidur."

Hening, tidak ada reaksi. Jemari Juan meninggalkan wajah dan kali ini meremas tangan si wanita.

"Apa kamu tahu kekacauan yang terjadi setelah kamu pergi? Dara, harusnya kamu bangkit sekarang dan melihat betapa orang-orang itu sangat mengerikan. Ayo, bangun!"

Mengikuti anjuran si dokter, setiap hari Juan mengajak Dara yang sedang koma untuk bicara. Bukan hanya itu, terkadang ia memutar lagu-lagu lembut untuk wanita itu atau membacakan cerita dari buku yang ia baca. Semua hal ia lakukan demi agar wanita itu cepat siuman. Hampir tiga bulan berlalu, meski tidak mati tapi Dara juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Juan menolak untuk menyerah dan meyakinkan diri kalau wanita itu akan bangun.

Juan bergeser, meraih buku yang ia letakkan di kaki ranjang dan mulai membacanya. Ia bisa bertahan, duduk berjam-jam membaca buku di samping Dara. Suara yang terdengar hanya dengung alat medis dan dengkus napasnya. Selain itu, sunyi. Di luar, suara burung pun terdengar jauh.

Membaca buku di samping orang yang sedang koma, bukan hal yang berat. Tak lebih dari hiburan untuknya dibandingkan dengan kegiatan yang selama ini ia lakukan. Ia terus membaca hingga hari terang secara perlahan berubah gelap. Satu hari lagi terlewati dan Dara tidak juga terbangun.

**

Lewis mengisap cerutu dan menatap anak laki-lakinya. Rasa kesal terlihat jelas dengan kening berkerut. Ia menunjuk si anak dengan jarinya yang panjang dan kurus.

Dendam DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang