Gambaran umum yang terlihat adalah potret sebuah keluarga bahagia. Pasangan orang tua dengan dua anak mereka. Sang papa duduk di ujung meja dan mengunyah makanannya dengan lambat, sementara istrinya sibuk menyingkirkan duri dari ikan di dalam mangkok. Di depan mereka, anak laki-laki asyik dengan ponsel dan anak perempuan, mengaduk salad tanpa benar-benar memakannya. Ruang makan sunyi, hanya terdengar denting peralatan makan beradu.
"Apa Papa tahu kalau Dani kembali ke rumah Dara?" Andreas membuka percakapan, menatap Lewis tajam.
Lewis mengangguk. "Dapat kabar tadi sore. Sudah seharusnya dia melakukan itu."
"Aneh, Papa malah mendukungnya. Menurutku, laki-laki itu memang tidak berguna. Setiap hari yang dilakukan di kantor hanya bermain. Dulu, sewaktu Dara masih hidup, masih mending karena ada yang mengawasi dan mau tidak mau Dani bekerja, meskipun tidak banyak. Tapi tahun ini?" Andrean berdecak tidak puas. "Aku tidak menyukainya."
"Menurutku dia lumayan tampan," celetuk Lavina.
Andreas menatap adiknya sinis. "Itu karena kamu menilai orang hanya dari tampang, bukan dari otak."
"Setidaknya, itu tujuan jelas. Dari pada menggunakan otak hanya setengah!"
"Apa maksudmu?"
"Wew!" Lavina meleletkan lidah.
Helen memukul meja. Menatap anaknya bergantian. "Diam kalian berdua. Kita sedang makan dan kalian ribut terus!"
Lavina menunjuk Andreas. "Dia, tuh, Ma."
"Andreas, hormati adikmu," tegur Lewis.
"Hah, Papa nggak salah? Aku yang harus menghormatinya? Dia yang harusnya lebih tahu diri sebagai adik. Setiap hari kerjanya hanya berfoya-foya dan menggoda laki-laki. Sedangkan aku harus bekerja putar otak di kantor. Kenapa aku yang harus menghormatinya?" Andrea berteriak, dengan wajah memerah dan tangan gemetar. Ia meletakkan sendok dengan kasar hingga menimbulkan bunyi cukup keras.
Lewis menatap anak laki-lakinya dan mengernyit heran melihat ledakan kemarahan yang baru saja dipertontonkan. Menghela napas panjang, ia merasa nafsu makannya hilang.
"Kenapa mudah sekali kamu terpancing emosi. Ingat, dia adikmu. Kalau hal kecil begini kamu mudah marah, bagaimana kalau harus menangani pekerjaan yang lebih besar?"
Andreas terdiam, melirik sang adik yang tersenyum penuh kemenangan. Lavina gembira tentu saja, tidak peduli apa yang dilakukannya, selalu mendapat dukungan dan pembelaan dari orang tua mereka. Berbeda dengan dirinya yang harus berjuang setengah mati demi mendapatkan pengakuan. Itu pun selalu dipandang remeh.
"Kamu juga Lavina. Jangan terus menentang kakakmu!"
Lavina mencebik, menatap sang papa. "Aku nggak nentang dia. Cuma bilang kalau Dani cakep, emang salah? Lagian, semua orang tahu kalau Dani harusnya menikah sama aku. Kalau bukan karena Dara." Suara Lavina menghilang. Ia menyendok salad dan memakannya tanpa selera.
"Itu masa lalu," tukas Helen. "Lagipula, Dani tidak menyukaimu. Kamu tidak tahu gosip yang beredar kalau dia punya kekasih?"
"Wanita simpanan maksud Mama?" sela Andreas. Tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membuat adiknya kesal. "Dani punya. Rumor yang terdengar, mereka bahkan sudah tinggal serumah. Sedangkan kematian Dara belum juga genap setahun. Sungguh memalukan!"
"Kali ini aku setuju denganmu." Lewis menunjuk Andreas. "laki-laki itu memang memalukan. Aku akan menemukan cara untuk membuatnya sadar akan sikapnya!"
Makan malam diakhiri dengan Levina yang kesal, meninggalkan meja tanpa pamit. Disusul Andraes yang bergumam ingin keluar. Tertinggal hanya Lewis dan Helen. Keduanya menghabiskan makan malam tanpa kata, merasa kalau nasi yang dimakan semakin keras karena udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Dara
RomanceKisah Dara yang berusaha mencari tahu siapa yang mencelakainya. Dibantu Juan, si laki-laki misterius, Dara membalas satu per satu orang orang yangenyakitinya. Dari mulai suami, keluarga, hingga orang terdekatnya.