Juan bangkit dengan tangan terentang, menahan agar Atifah dan Dara tidak berpelukan. "Tahan, banyak orang." Ia menatap Atifah. "Apa Ibu tadi diikuti?"
Atifah mengangguk. "Sepertinya, iya."
"Kalau begitu, kita cari tempat untuk bicara."
Juan menghampiri pemilik toko, tak lama mereka dibawa masuk ke ruangan belakang yang dipisahkan dengan pintu kayu. Setibanya di sana, tanpa bisa menahan diri Atifah memeluk Dara. Air mata kebahagiaan keluar dari pelupuk wanita tua itu dan tak henti-hentinya mengucap syukur. Juan terdiam, menatap dua wanita di depannya saling berdekapan di ruangan yang sempit.
"Ya Tuhan, syukurlah kamu selamat, Nona. Selama setahun ini, aku selalu berpikir kalau kamu akan kembali dan nyatanya, doaku terkabul."
Dara melepaskan diri dari pelukan Atifah dan menatap heran pada wanita itu. "Bu, bisa mengenaliku?"
Atifah mengangguk, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Dara. "Banyak yang berubah, jadi lebih cantik. Meskipun dari dulu kamu memang cantik, Sayang. Aku mengenalimu karena laki-laki di sampingmu sudah mengirimkan foto terbaru."
Tersenyum simpul, Dara mengajak Atifah duduk di dipan kayu. Ia bercerita secara cepat dan intinya saja untuk menghemat waktu. Ia tahu, gerak-gerik Atifah sedang dipantau dan akan mencurigakan kalau sampai berdiam lama-lama.
"Apakah kotak perhiasanku masih ada?"
Atifah mengangguk. "Aman, sudah aku pindahkan ke tempat lain. Karena di kamar Nona sudah dipasang CCTV dan beberapa kali Pak Dani menginginkan kunci laci tapi aku menolak."
Dara berpandangan dengan Juan dan saling melempar tatapan cemas. "Lalu, bagaimana aku bisa mendapatkan perhiasanku, Bu? Saat ini aku membutuhkannya untuk biaya hidup. Karena tidak mungkin menarik uang dari ATM."
"Nona, membutuhkan uang banyak?"
"Sangat banyak, Bu."
"Baiklah, akan aku pikirkan caranya nanti. Bagaimana dengan perusahaan, apakah Nona ada keinginan untuk kembali?"
Dara tersenyum, meraih tangan Atifah dan meremasnya. "Itulah kenapa aku menginginkan perhiasan itu. Salah satunya untuk kembali mendekat ke perusahaan."
Atifah mendongak, menatap Juan yang sedari tadi terdiam. "Juan, bisakah aku memanggilmu begitu?"
"Tentu saja," jawab Juan.
"Aku akan memikirkan cara mengantar berlian-berlian itu pada kalian."
Mereka berpisah dua puluh menit kemudian dengan enggan. Masih banyak hal yang ingin dikatakan Atifah pada sang nona tapi tahu diri untuk tidak membuat masalah, begitu pula Dara dan Juan.
Dara dan Juan menaiki taxi untuk pulang, dan sepanjang jalan Dara melamun, menatap jalanan yang padat dengan pandangan kosong.
"Dara ...."
"Ya."
"Kangen rumah?"
Dara tersenyum. "Bohong kalau sampai aku bilang nggak. Tentu saja aku kangen kembali ke sana, bagaimana pun itu rumahku. Rasanya pasti tidak sama lagi sekarang, mengingat ada Dani yang menguasai."
"Kamu harus bersabar kalau ingin kembali ke rumah itu."
Dara memalingkan wajah, menatap Juan lekat-lekat. "Sering kali aku berpikir, kenapa harus mengalah dengan mereka. Maksudku, kenapa kita harus merahasiakan keberadaanku dari mereka. Itu rumah dan perusahaanku, wajar kalau aku ke sana dan meminta semuanya kembali. Lalu—"
"Lalu apa?"
Dara menghela napas. "Aku sadar kalau posisiku sulit sekarang. Dengan wajah yang berbeda, siapa pun akan menganggapku gila."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Dara
RomanceKisah Dara yang berusaha mencari tahu siapa yang mencelakainya. Dibantu Juan, si laki-laki misterius, Dara membalas satu per satu orang orang yangenyakitinya. Dari mulai suami, keluarga, hingga orang terdekatnya.