Bab 5a

1.9K 389 20
                                    

Mereka berpindah ke teras, duduk bersebelahan menatap kelam malam yang menyelimuti bumi. Suara binatang berbaur dengan desir angin, menambah kesan sendu dan misterius. Rumah dikelilingi pepohonan yang berdiri angkuh dan kokoh melawan malam. Suasana sendu tercipta dan seolah-olah tidak ada manusia lain di bumi selain mereka berdua.

Dara menghela napas, mengisi paru-paru dengan udara segar untuk menghilangkan rasa sesak. Tangannya terkepal di atas pangkuan dengan mata berkabut. Ia berusaha menahan isak yang mendesak keluar. Merasakan takut sekaligus geram pada berita yang baru ia baca.

Kecelakaan, menantang maut, dan keluarganya bukan datang mencari untuk menolongnya malah kini sedang berebut harta dan tahta yang kosong karena kepergiannya. Keluarga macam apa mereka, lebih mementingkan harta dari pada dirinya.

"Kamu menangis?"

Teguran Juan membuat Dara menggeleng. "Nggak."

"Menangis saja kalau mau, nggak masalah. Kalau aku jadi kamu, mungkin sudah meraung."

Bisa jadi suara Juan yang terdengar penuh pengertian atau mungkin perasaan Dara yang penuh sesak, akhirnya ia menangis tersedu-sedu dengan bahu terguncang. Juan meninggalkannya sesaat lalu kembali dengan sekotak tisu dan meletakkan di atas pangkuan Dara.

"Me-mereka bersuka cita. Aku se-sendiri menanggung luka." Dara berucap di sela tangisan. "Dani bahkan sudah pu-punya wanita lain. Bisa ja-jadi dia berselingkuh dari dulu."

Juan terdiam, membiarkan Dara menumpahkan isi hatinya. Ia mengerti perasaan wanita itu, dan berharap dengan tangis mampu meredakan kekecewaan.

"A-aku tidak mengerti, siapa yang harus kupercaya. Mereka se-semua sama saja."

Setelah menangis beberapa saat dan menghabiskan banyak tisu, kini tersisa isakan lirih. Dara mendongak saat Juan mengulurkan air minum hangat dan ia menerimanya dengan penuh terima kasih. Saat air menyentuh tenggorokannya, ia merasa ironis pada hidupnya sendiri. Selama ini diperlakukan bagaikan tuan putri yang dilindungi, entah di rumah atau di kantor, nyatanya itu adalah bentuk lain dari pengekangan dirinya. Semenjak sang kakek meninggal, para kerabatnya berebut harta dan tahta yang ia miliki. Ia kini curiga kalau kecelakaannya adalah hal yang disengaja. Saat kemarin Juan memiliki dugaan yang sama, ia masih menyimpan ragu. Tidak peduli bagaimana pun jahatnya keluarganya, mereka tidak akan berani mencelakainya. Kini, ia meragukan sendiri pendapatnya.

"Sudah tenang?"

Dara mengangguk, menyerahkan gelas kosong pada Juan yang membantunya meletakkan di atas meja.

"Aku yakin, kecelakaanku disengaja," ucap Dara dengan suara serak.

"Bukankah aku pernah mengatakan ini sebelumnya?"

"Iya, tapi saat itu aku berpikiran naif dan kini—"

"Berubah. Karena berita-berita itu?"

Dara mengangguk.

"Apa karena suamimu berselingkuh?"

Memejam dan meraba dadanya yang sakit, Dara lagi-lagi mengangguk. "Dani, selama ini aku merasa bersalah padanya. Sebagai istri tidak benar-benar melayani sebagaimana mestinya. Aku lebih banyak menahan diri, bersikap dingin, dan acuh. Aku berusaha mengubah sikapku, demi keutuhan rumah tangga kami. Tapi, ternyata—"

Hening, Dara membiarkan kata-katanya menggantung di udara dan tertelan malam. Ia sudah cukup banyak menangis malam ini, dan tidak ingin tidur dalam keadaan mata bengkak. Sudah sering ia menangisi keadaan tubuhnya, kini ditambah memikirkan tentang keluarganya, ia sudah tidak sanggup.

"Juan, bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke kota?"

Juan menatap Dara, menjawab tanpa senyum. "Kamu harus sembuh dulu."

Dendam DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang