Bab 3b

2K 356 35
                                    

Dani berkeliling rumah besar berlantai tiga yang ia tempati. Sekarang, hanya dirinya sendiri di rumah ini dan karena tidak ada Dara, membuatnya enggan menginjakkan kaki di sini. Ia datang hari ini untuk mengambil pakaian dan memindahkan ke apartemen. Ia tidak suka tinggal di sini, rumah ini terasa angkuh dan dingin. Sama sekali tidak ada sentuhan kehangatan untuknya di sini. Para pelayan terlalu acuh dan tidak menganggapnya ada, terutama Atifah. Wanita itu memang bersikap sopan tapi matanya menatap tajam setiap kali mereka bertemu. Seolah-olah, Atifah tahu hal terdalam yang ia sembunyikan.

Selesai berkeliling dan merasa tidak ada satu kejanggalan pun, Dani menuju kamar dan membuka lemari. Memilah pakaian untuk dibawa pergi. Ranjang masih tertata rapi, karena semenjak Dara meninggal, ia juga tidak pernah menempati kamar ini. Rasanya begitu menakutkan, berada di sini sendirian.

Ia memang suami Dara, tapi ia merasa tidak pernah benar-benar dianggap kepala rumah tangga. Bisa jadi, karena Atifah dan pelayan lain hanya menghormati Dara dan bukan dirinya. Menghela napas panjang, ia menoleh ke arah meja rias dan membuka lacinya. Seingatnya dulu, ada satu kotak perhiasan tersimpan di sana. Saat mencoba membuka, ternyata terkunci.

"Ke mana kuncinya? Seingatku, selalu tergantung dan tidak pernah dicabut?" Ia menggumam, dengan tangan sibuk mengobrak-abrik meja. "Apa si pelayan yang mengambil?"

Melangkah tergesa menuju mesin interkom, ia meminta Atifah datang. Wanita itu seperti terbang karena tidak sampai lima menit sudah mengetuk pintu kamar.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya Atifah tanpa senyum.

Dani menunjuk laci. "Kenapa terkunci? Di mana kuncinya?"

Atifah menatap laci lalu menggeleng. "Saya kurang tahu, Pak."

"Hah, mana mungkin? Kamu kepala pelayan di rumah ini. Masa nggak tahu soal kecil begini?"

Masih dengan wajah datar tanpa ekpresi Atifah menjawab. "Itu urusan Nona Dara."

Wajah Dani mengernyit, menatap wanita di hadapannya dengan pandangan tidak suka yang terlihat jelas. "Aku tahu itu urusan Dara. Masalahnya, istriku sudah mati. Jadi—"

"Tidak ada bukti kalau Nona sudah meninggal!" sahut Atifah dengan suara penuh ketegasan.

"Apa maumu sebenarnya? Istriku tidak ada jadi sudah selayaknya kalau aku yang berkuasa di rumah ini. Kenapa kamu nggak mau menerima kenyataan ini, Atifah!"

Atifah bergeming, tidak bereaksi dengan tekanan yang ia terima dari Dani. Ia sudah lama bekerja di rumah ini dan mengerti benar seluk beluk rumah. Baginya, Dani adalah orang asing yang datang untuk mengacak-acak bukan hanya rumah tapi juga keluarga majikannya dan ia tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Pak, saya tidak tahu apa yang kamu cari. Tapi, saya pastikan kalau kucinya tidak ada di tangan saya. Apa ada hal lain? Kalau tidak saya mau permisi."

Dani yang kesal, menendang kursi dan meringis saat kakinya berbenturan dengan kayu. Ia merenggut rambut dan menyumpah tanpa henti. Dara sudah tidak ada di sini tapi para pelayan bukan mendengar perintahnya malah mendukung Atifah. Kalau bukan karena Lewis yang terus menekannya, ia berniat keluar dari rumah ini. Namun, sayangnya ia tidak bisa melakukan itu. Harta warisan Dara begitu banyak dan bisa dibagikan kalau kematiannya sudah melewati masa 365 hari dan selama itu ia harus menunggu.

"Tiga bulan lagi, dan aku akan terbebas dari rumah ini." Dani tersenyum, menatap bayangannya di cermin. "Aku yakin, rumah ini pasti jatuh ke tanganku. Kalau itu terjadi, aku akan menjualnya dan menendang semua pelayan!"

Dengan berbagai rencana jahat terbentuk di otak, Dani mengemasi pakaian dan berlalu dengan koper di tangan tanpa berpamitan.

Di jendela lantai satu, Atifah menatap kepergian Dani dengan wajah kaku. Ia tidak pernah menyukai laki-laki itu, dari dulu hingga sekarang. Orang-orang mengatakan kalau Dara sudah mati, tapi jauh di lubuk hatinya ia percaya kalau sang nona masih hidup. Dara tidak akan semudah itu mati. Selama tidak menemukan jasad, berarti tidak ada kematian.

Dendam DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang