Bab 10b

3.2K 416 24
                                    

"Bagaimana jalannya pesta?" Tanya mengaduk makanan di atas piringnya.

Dani membasuh mulut. "Biasa saja. Hanya pertemuan bisnis."

"Aku dengar kamu mabuk."

"Siapa yang nggak? Namanya juga pesta."

"Apa semua lancar?"

"Aku harap begitu."

Meraih tangan Dani, Tanya menatap dengan penuh harap. "Kalau lancar, bisakah kita bertunangan bulan depan? Aku akan mengosongkan jadwalku."

Pertanyaan kekasihnya membuat Dani terdiam. Sejujurnya, ia sendiri ingin punya pendamping baru setelah kepergian Dara. Tapi, setelah menduduki jabatan direktur dan mulai sibuk, ia menyadari kalau cinta bukan prioritas utama.

Ia memang tidak melakukan semua pekerjaan, karena rata-rata ditangani oleh Jeff dan Lewis. Tapi, ia menikmati saat menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Ia menyukai rasa hormat dan segan yang diberikan orang-orang padanya. Saat melakukan kunjungan atau pergi ke pesta, para wanita berkerumun di sekitarnya dengan pandangan penuh pemujaan. Sementara para laki-lakinya lebih banyak menahan diri, bisa jadi karena takut atau pun enggan. Dani menyadari, rasanya luar biasa dianggap punya power untuk menentukan hidup orang lain.

"Dani, kenapa terdiam?"

Tangan Tanya kini menyentuh lengannya. Dani tersadar dan meneguk air putih dari dalam gelas. Melirik Tanya yang kembali sibuk dengan makanan di dalam piring. Ia tidak tahu, apakah wanita disampingnya layak untuk ditukar dengan masa depan yang cerah sebagai direktur, karena sudah bisa dipastikan kalau Lewis akan menarik dukungan kalau ia menikahi wanita yang tidak dianggap serasi.

Tanya memang seorang artis yang cukup terkenal, tapi itu bukan pertimbangan matang untuk dijadikan istri. Ia menginginkan seorang wanita yang benar-benar mampu mengimbanginya. Dulu, Dara adalah pilihan yang cocok. Meskipun pendiam dan menarik diri, tapi Dara itu patuh dan tidak macam-macam dengannya. Menikah dengan wanita penurut seperti itu, membuatanya bebas melakukan apa pun, termasuk berselingkuh. Kini, setelah kehilangan istri, justru mintanya untuk terus bersama Tanya menurun. Ia sendiri merasa heran dengan perasaannya.

"Apa aku tidak terlihat Dani?"

Teguran Tanya kali ini membuat Dani tersentak. "Maaf, lagi banyak pikiran soal pekerjaan."

"Jadi, apakah usulku bagus?"

Dani mengernyit. "Yang mana?"

"Kok yang mana? Tentu saja soal pertunangan kita."

Tertegun sesaat, Dani berucap pelan. "Bisakah memberiku waktu untuk berpikir. Soalnya, perusahaan sedang mengembangkan diri dan aku dibutuhkan."

Tanya terdiam, menarik tangannya dari tubuh Dani. Ia bukannya tidak merasa kalau makin hari Dani makin berubah, tapi ia berusaha mengabaikannya. Kini, mendengar penolakan dari laki-laki itu, rasanya sungguh menyakitkan.

"Media, para penggemarku, mereka tahu aku sudah punya pacar. Seorang kekasih hebat. Nggak ada keputusan kayak gini, bisa bikin aku malu, Dani. Apa kata mereka nanti?"

Gumaman Tanya membuat Dani melirik. "Sabar dulu. Kalau urusan investasi ini selesai, kita bertunangan. Aku janji."

Tanya tahu, janji Dani tidak bisa dipegang. Namun, saat ini ia tidak punya pilihan lain selain menunggu. Bagaimanapun juga, hubungan mereka memang tidak mudah untuk go publik. Ia seorang artis dan Dani adalah direktur perusahaan. Akan banyak yang ingin tahu hubungan mereka, dari sekadar penasaran sampai yang ingin menjatuhkan. Tanya menghela napas panjang, merasa gundah dengan perasaannya sendiri.

**

Melangkah bergandengan melewati lobi yang ramai, Dara dan Juan menaiki lift menuju lantai atas, tempat para petinggi perusahaan berada. Hari ini Dara memakai gaun sutra biru bercorak bunga putih, dengan panjang mencapai bawah lutut. Bagian atas lengannya menutupi siku dengan potongan gaun pas melekat di tubuh. Terlihat anggun tapi juga sexy secara bersamaan.

Di sampingnya, Juan memakai setelah hitam berikut kacamata coklat dengan rambut dikuncir rapi. Mereka disambut Lewis secara pribadi di pintu lobi dan laki-laki tua itu kini mengiringi langkah mereka masuk ke lift.

"Semoga perjalanan kalian tidak mendapatkan hambatan berarti." Lewis membuka percakapan basa-basi.

Juan mengangguk. "Lancar sejauh ini, Pak."

Lewis tersenyum, menatap Dara agak lama dari seharusnya. Entah kenapa, ia merasa mengenal sosok wanita bergaun biru. Padahal, mereka baru bertemu dua kali tapi ia merasa kalau kekasih Juan, adalah orang yang pernah ia kenal. Hanya saja ia lupa siapa dan di mana.

"Ada apa dengan wajah saya, Pak?" Dara menegur pelan, saat melihat Lewis tak berkedip memandangnya.

Lewis menggeleng, merasa malu sudah kepergok. "Maaf, bukan maksud menyinggung. Tapi, wajah Nona Roxie seperti seseorang yang saya kenal."

Dara bertukar pandang dengan Juan, merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Ia berdehem, mencoba bersikap tenang. "Siapa, Pak?"

"Entahlah, siapa dan di mana, itu saya lupa. Tapi, seperti mengingatkan saya pada seseorang."

Jawaban Lewis membuat Dara diam-diam merasa lega.

"Maaf, kalau menyinggung."

Dara menggeleng, menatap Lewis tanpa senyum. Ironis karena wajahnya yang berubah membuat laki-laki yang merupakan keluarga paling dekat dengannya, justru tidak mengenali. Padahal, ia sudah mempersiapkan kalau ada yang mengenalinya.

Mereka keluar darim lift disambut oleh Dani. Senyum lebar laki-laki itu terpampang saat melihat Dara. Dani bahkan berniat merengkuh Dara dalam pelukan tapi dihadang oleh Juan.

"Senang menerima kalian di sini." Dani menggosok dua tangan untuk menahan malu karena penolakan Juan. "Kantor kami mungkin nggak sebagus dan seluas kalian."

"Tidak, kantor kami yang di sini juga kecil. Karena kami lebih banyak berada di luar kota atau luar negeri, jadi tidak memerlukan kantor yang besar." Juan menimpali perkataan Dani dengan santai. Mereka melangkah beriringan menyusuri lorong berkarpet.

"Kita langsung menuju ruang pertemuan kalau begitu."

Dara terdiam, berusaha menahan agar matanya tidak ke mana-mana. Ia tak kuasa menahan diri untuk melihat-lihat lingkungan kantor dan mencari perbedaan dari terakhir ia datang kemari. Ternyata, tidak ada yang berubah. Karpet masih berwarna merah dengan dinding didominasi warna putih. Para pegawai kebanyakan ia kenal, hanya satu resepsionis di bagian depan yang baru. Ia merasa akrab dengan tempat ini, hingga nyaris lupa untuk berpura-pura kalau Juan tidak memperingatkannya. Laki-laki itu meremas jemarinya lembut kalau menangkap pandangannya pada obyek tertentu dengan kelewat lama.

Masuk ke ruang besar berdinding kayu ukir, Dara tertegun saat melihat sosok yang menyambutnya. Sandi, masih terlihat tampan seperti dulu dengan senyum ramah. Dara menahan diri untuk tidak menyapa dan menghambur dalam pelukan si om.

"Selamat datang Nona Roxie dan Pak Juan." Sandi menyapa ramah.

Dara berpura-pura melihat ke arah Dani dan suaminya itu memperkenalkan mereka dengan antusias.

"Roxie, kenalkan ini Sandi. Manager kepegawaian dan perencaan."

Juan menjabat tangan Sandi, sedangkan Dara hanya mengangguk. Ia heran karena Sandi ternyata masih menempati posisi yang sama. Ia mendongak dan menyadari kalau Sandi menatapnya sangat intens.

"Sepertinya, kita pernah saling mengenal Nona Roxie. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Pertanyaan Sandi menghentikan senyum Dara. Ia meraih lengan Juan dan tersenyum. "Bisa jadi."

***

Cerita ini akan saya tamatkan di yutub secara gratis. Jangan lupa subscribe.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dendam DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang