Dara menyebutkan sederet nomor dan Juan mencatat. Selesai makan, ia mengajukan diri untuk mencuci piring dan Juan mengelap kompor. Terkadang, ia merasa ironis dengan hidupnya. Saat menikah dengan Dani, tidak pernah sekali pun mereka bersama-sama di dapur, tapi bersama Juan sungguh berbeda. Rasanya seperti suami istri sungguhan, di mana mereka melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama.
Semenjak kecil, Dara sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan yang menyangkut rumah. Tidak pernah menyapu, mencuci pakaian apalagi membereskan piring sehabis makan. Selalu ada pelayan yang melakukannya. Ia dulu seorang nona besar, tetapi sekarang justru berbeda. Ia banyak belajar dari Juan bagaimana harus hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
Awalnya, ia sangat kesulitan. Mencuci piring masih sering salah dan sering memecahkan beberapa peralatan makan. Mencuci pakaian apalagi. Pernah suatu hari ia membuat pakaian Juan kelunturan dan mereka terpaksa membuangnya karena tidak bisa lagi dipakai. Mengingat itu semua, tanpa sadar membuat Dara tersenyum.
"Kenapa senyum-senyum?" tanya Juan.
Dara mendongak dan memekik kaget. Hampir saja gelas jatuh dari tangannya, untunglah ditangkap tepat waktu oleh Juan. "Kamu bikin aku kaget."
"Sedang mikirin apa? Sampai melamun."
Dara mengalihkan pandangan dari tubuh Juan yang sekarang dekat dengannya. Mereka berdiri bersisihan di depan wastafel dengan pundak saling menempel. Jantung Dara berlompatan seketika. Aroma cologne yang dipakai Juan, berbaur dengan bumbu masakan, mengusik penciumannya. Terasa sangat maskulin tapi juga manis secara bersamaan.
"Nggak ada, mikirin tentang perusahaan." Ia menjawab lembut, berusaha mengalihkan pikirannya dari tubuh kekar Juan.
"Ehm, takut?"
"Iya, sedikit."
"Jangan kuatir. Aku tidak akan membiarkanmu terluka. Awas, ada sabun." Juan meraih selembar tisu dan mengelap rambut Dara yang basah oleh gelembung sabun.
Dara tidak mengatakan apa pun, membiarkan Juan menyentuh kepalanya. Ini bukan pertama kalinya mereka bersentuhan. Mereka sering melakukannya terutama saat Juan dulu merawatnya. Laki-laki itu tanpa sungkan dan risi membasuh dan mengobati luka-lukanya. Suatu hal yang menyentuh hati karena tidak semua orang akan melakukan itu, bahkan yang terdekat dengannya sekalipun, yaitu Dani.
Memikirkan Dani, membuat Dara muram. "Dani, jadi direktur. Kenapa bisa terpilih? Setahuku, kemampuan Om Sandi bahkan jauh lebih bagus dari pada Dani."
Juan membuang tisu yang basah dan berdiri bersandar pada westafel, mengamati Dara yang sedang menatap piring.
"Karena dia suamimu."
Dara menatap heran. "Hanya itu?"
Juan mengangguk. "Hanya itu."
Tawa kecil keluar dari mulut Dara. Merasa ironis dengan apa yang didengarnya. Orang lain harus bersusah payah demi mendapatkan kedudukan dan Dani mendapatkannya semudah membalikkan telapak tangan. Hanya bermodalkan sebuah status.
"Mau jadi apa perusahaanku nanti."
Memiringkan kepala, Juan menatap Dara yang kini sibuk mengelap gelas dengan tisu. Wanita itu sepertinya memakai riasan tipis di wajah dengan rambut yang dibiarkan tergerai. Tubuhnya sedikit berisi tapi jauh dari kata gemuk. Setiap hari berolah raga dengannya, tanpa sadar ikut membentuk tubuh wanita itu. Sesuatu mengusik pikirannya, tanpa banyak basa-basi ia bertanya.
"Bagaimana kamu bisa mengenal laki-laki itu? Aku tidak melihat kecocokkan di antara kalian."
Dara menghentikan gerakannya yang sedang mengelap sendok. Mengangkat wajah lalu mendesah. "Aku lupa bagaimana persisnya ketemu. Seingatku, sih, dalam sebuah pesta dan Paman Lewis yang memperkenalkan kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Dara
RomanceKisah Dara yang berusaha mencari tahu siapa yang mencelakainya. Dibantu Juan, si laki-laki misterius, Dara membalas satu per satu orang orang yangenyakitinya. Dari mulai suami, keluarga, hingga orang terdekatnya.