Chapter 24 (A) - Second chance?

1.4K 99 6
                                    


Mengikuti arah mata Vanilla, Aryan ikut melihat pada telapak tangan yang semula sudah terbalut perban dan mengeluarkan warna merah dari sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengikuti arah mata Vanilla, Aryan ikut melihat pada telapak tangan yang semula sudah terbalut perban dan mengeluarkan warna merah dari sana. Hingga menetes dan meninggalkan jejak pada lantai kayu Vanilla.

"Kok bisa? Kenapa tadi?" Sontak Vanilla segera meraih tangan Aryan lantas membuka satu persatu laci pada meja untuk mencari kotak obat. Sebab panik, Vanilla jadi lupa dimana meletakkan kotak yang berisi obat-obatan lengkap itu.

Sementara netra Aryan mengikuti arah gerak Vanilla dan tidak terganggu dengan rasa nyeri yang terasa di seluruh telapak tangan. Ia hanya bergeming ketika Vanilla menarik tangannya dan meminta untuk duduk.

"Duduk," pinta Vanilla yang diikuti dengan patuh oleh Aryan.

Kening Vanilla sesekali mengernyit ketika membuka perban yang sudah berlumur darah itu. Ia bergerak dengan sangat hati-hati dan memastikan Aryan tidak kesakitan.

"Sakit?" tanya Vanilla seraya mendongakkan kepala. Aryan masih menatap Vanilla lekat-lekat dan memberikan gelengan kepala sebagai jawaban.

Vanilla kembali melanjutkan membuka perban tersebut dan melihat bekas jahitan cukup panjang pada telapak tangan Aryan. Ia mendongak pada Aryan, seolah membutuhkan jawaban.

"Nggak apa-apa," jawab Aryan.

Membuang wajah dari Aryan lalu menyibukkan diri untuk mengobati lukanya. Vanilla menyeka darah yang mengalir dengan sangat hati-hati. Sesekali ia meniup bekas jahitan yang masih mengeluarkan warna merah segar.

"Aku nggak tanya apa-apa," ujar Vanilla berdusta. Sebenarnya ia ingin tahu apa yang sudah terjadi pada pria itu. "Ini aku ganti sementara. Sebaiknya nanti kamu buru-buru ke dokter buat periksa. Mungkin karena kena benturan dari tiang makrame tadi."

"Hm." Aryan hanya mampu mengeluarkan reaksi sesingkat itu. Ia kembali memindai wajah Vanilla dengan seksama. Bulu mata panjang nan lentik itu menghiasi sepasang matanya yang indah. Rambut kecokelatan yang terikat secara keseluruhan menampilkan rupa ayu yang sempat dikagumi Aryan. Well, hingga sekarang pun Vanilla masih cantik, justru lebih cantik. "Bibir Zayn mirip kamu."

Ucapan yang baru saja terucap dari Aryan, membuat gerakan membalut yang dilakukan Vanilla terhenti. Ia menelan saliva dan enggan melihat pada Aryan. "Hanya itu saja yang kuwariskan."

"Benarkah? Aku rasa dia sangat penyayang sepertimu," tukas Aryan. Ia teringat bagaimana cara Zayn memperlakukan sahabatnya ketika acara Hari Ayah beberapa hari lalu.

Bocah itu rela berlari di antara kerumunan murid dan orang tua mereka untuk mengambilkan minuman untuk Jason yang kehausan saat itu. Salah satu sifat baik dari Vanilla yang menurun kepada Zayn.

Vanilla memilih diam dan tidak memberikan respon. Ia terus membalut tangan Aryan, membagi dua kain kasa di bagian ujung untuk mengikatnya kuat.

"Aw! Sakit, Van," seru Aryan ketika secara sengaja Vanilla mengikatnya dengan sangat kuat.

Mengabaikan rintihan Aryan, Vanilla memasukkan kembali sisa kasa ke dalam kotak lalu bangkit untuk menyimpan benda tersebut ke tempat semula. Wanita itu lantas mengambil kain pel untuk menyeka tetesan darah di lantai. Ia seolah tidak menganggap Aryan ada di sana.

"Van, bisa kita bicara sebentar?" tanya Aryan.

"Tidak, aku sibuk," jawab Vanilla sekenanya. Lalu memasangkan kembali tiang makrame ke tempat semula. Vanilla masih harus berjinjit meskipun sudah naik ke pijakan.

Lengan kukuh Aryan langsung mengambil alih dan memasangkan tiang itu ke tempat semua. Aryan hanya perlu sedikit berjinjit untuk menjangkau area tertinggi atas jendela ruangan tersebut.

"Tangan kamu lagi sakit, Aryan! Kamu nggak perlu bantu," seru Vanilla.

"Kamu butuh bantuan, Vanilla," ucap Aryan merapikan ujung tiang agar tidak terjatuh lagi.

Entah mengapa jawaban dari Aryan seolah memprovokasi Vanilla. Selama ini ia bisa sendiri tanpa bantuan dari pria itu.

"Aku nggak butuh bantuan kamu, Aryan!"

Teriakan dari Vanilla membuat Aryan menoleh dan membalikkan tubuhnya. "Aku akan bertanggung jawab atas Zayn."

"Untuk apa?" Vanilla mendesah jengah. "Zayn baik-baik aja."

"Darimana kamu tahu Vanilla? Dia butuh seorang Daddy," ujar Aryan dengan nada sungguh-sungguh.

"Aku sudah bilang sebentar lagi Zayn akan mendapatkan Daddy, setelah aku dan Gavin menikah," tandas Vanilla.

"Tapi aku ayah kandungnya, Van. Aku! Bukan pria itu!" balas Aryan sedikit meninggikan intonasinya.

"Apa bedanya, Aryan? Gavin lebih baik dari kamu. Aku nggak mau anakku diasuh sama Daddy yang brengsek seperti kamu!" Kontan telunjuk Vanilla teracung di depan wajah Aryan. "Zayn tidak membutuhkan Daddy seorang pengecut seperti kamu, Aryan!"

Otot rahang Aryan mengeras, diikuti kepalan tangan. "Aku akan buktikan jika pantas menjadi ayahnya."

"Terlambat, Aryan. Sudah terlambat. Bahkan kamu sama sekali tidak memperdulikanku selama empat tahun ini." Vanilla menjeda ucapannya lalu terkekeh. "Oh ya aku lupa. Untuk apa memperdulikan wanita taruhan sepertiku? Apa yang kamu dapatkan saat menjadikanku taruhan, Aryan?"

Pria sangar yang jarang menunjukkan kelemahan itu hanya bisa diam saat Vanilla berulang kali menunjuk dadanya. Seolah tidak mampu berkutik saat berhadapan dengan wanita itu.

"Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu. Waktu itu aku cuma ...."

"Cuma apa? Aku tahu kamu selalu mempermainkan wanita, Aryan. Tapi kenapa kamu bisa melakukan itu sama aku? Setelah semua yang sudah kita lakukan? Kenapa?" seru Vanilla mulai berkaca-kaca. Ia tidak bisa menahan hingga air matanya jatuh dan melindas pipi. "Aku mencintaimu sungguh-sungguh, tapi kamu hanya anggap permainan! Jahat kamu, Aryan!"

Tangan Vanilla mengepal lantas memukul dada Aryan dengan kekuatan seadanya. Sementara Aryan hanya pasrah ketika Vanilla melakukan hal itu. Ia merasa tidak berhak untuk menghentikan tindakan Vanilla. Melihat air mata Vanilla yang mengalir tanpa jeda membuat Aryan teringat saat sang ibu disakiti oleh Aditama, ayahnya sendiri.

Bibir Vanilla bergetar diikuti rasa hangat yang terus melindas kedua pipi. Semua hal yang telah dilewati seorang diri kembali muncul di ingatan, seolah menorehkan luka yang selama ini secara susah payah dilupakan olehnya.

Aryan meraih pergelangan tangan Vanilla untuk menghentikan pukulan lemah itu. Lantas menggenggamnya erat. "Kasih aku kesempatan kedua, Van. Aku akan buktikan jika pantas untuk Zayn."

"I don't have second chance for you, Aryan." (Aku tidak punya kesempatan kedua untukmu, Aryan) Vanilla menghempaskan tangan Aryan lalu mengusirnya. "Pergi!"

"Zayn putraku, Van. Please!" Aryan masih memohon.

"No, Aryan! No! Pergi sekarang!" seru Vanilla dengan nada meninggi. "Pergi aatau aku telepon polisi."

"Oke, aku akan pergi. Tapi akan kubuktikan, kalau aku pantas jadi ayahnya, Zayn." Aryan membalikkan tubuh lalu menuruni anak tangga. Punggungnya perlahan menghilang.

Sementara Vanilla terjatuh di sofa. Ia menyugar rambutnya frustrasi diikuti air mata yang masih berlinang deras. "Kenapa kamu datang lagi, Aryan? Why!"

*** 

How To Deal With  Bastard CEO (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA DAN BESTORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang