Kedua mata Zayn yang basah masih melihat ke arah Aryan. Ia berjalan dengan tangan yang digandeng oleh Gavin. Lalu Vanilla membuntuti mereka.
Aryan hanya bisa mendesah dengan piala di tangan kiri serta helaian rambut Zayn yang sudah terbungkus rapi dengan tisu. Ia harus mendapatkan jawaban dari serentetan pertanyaan yang beberapa hari ini bergumul hebat di dalam pikiran.
Kaki Aryan mengayun pelan menuju ke dalam mobil yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa itu. Ia meletakkan pelan piala tersebut di kursi samping kemudi lalu merogoh saku dalam.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Aryan untuk mendapatkan jawaban dari si penerima telepon. Suara Tino langsung menyeruak di rungu Aryan.
["Ya, Tuan muda. Ada lagi yang bisa saya bantu?"]
Suara siaga dari Tino membuat Aryan melemparkan punggung di sandaran kursi belakang kemudi. "Ada yang harus kamu lakukan untukku, Tino."
["Apa Tuan muda?"]
"Aku minta hasil tes DNA helaian rambut yang aku bawa ini, segera," tandas Aryan.
"Baik, Tuan muda," jawab Tino dengan patuh. Lalu beberapa saat kemudian, panggilan terputus. Aryan yang melakukan.
Iris Aryan menatap nyalang ke langit-langit mobil. Ketakutan kembali menyeruak dan memenuhi ruang hati. Jika benar Zayn adalah putranya, entah apa yang akan dilakukan oleh Aryan. Berulang kali ia ingin menampik kemungkinan tersebut, tetapi sikap dan kepribadian Zayn yang sangat mirip dengan Aryan sulit dielakkan.
"Hah!" Embusan napas kasar lolos dari bibir Aryan sembari mengepalkan tangannya dan memukul kemudi mobil.
Sementara itu di tempat yang berbeda, Vanilla termenung di teras kamar lantai dua sembari menatap langit biru tanpa arak-arakan awan putih yang bergerombol. Tangan Vanilla yang semula bersedekap sesekali mengusap air mata yang terjatuh melindas pipi. Ingatan masa lalu yang berusaha keras dikubur dalam-dalam oleh Vanilla kembali terputar. Masa yang dulu terasa manis, tetapi sekarang sangat pahit apabila diingat.
"Aryan, kamu mau bawa aku kemana?" tanya Vanilla dengan mata yang tertutup kain hitam. Tangan Aryan menggenggamnya erat agar tidak terjatuh saat salah mengambil langkah.
"Sudah, nanti kamu juga akan tahu. Pelan-pelan, sekarang turun satu anak tangga lagi," pinta Aryan sambil tersenyum tipis. Ia memerhatikan langkah Vanilla dengan seksama.
Heels setinggi 7 senti itu terus mengetuk lantai dan menginjak beberapa kelopak bunga mawar merah yang ditaburkan oleh Aryan di sana. Tangan Vanilla mengerat kuat pada genggaman Aryan. Embusan angin yang tidak terlalu kuat menerbangkan helaian rambut Vanilla yang dibiarkan terurai. Gaun selutut dengan bahan broklat warna silver melekuk apik tubuh sintal Vanilla.
"Kamu siap?" tanya Aryan setelah tiba di tempat tujuan.
"Aryan aku takut," ucap Vanilla yang enggan melepaskan genggaman tangan Aryan.
"Kenapa mesti takut." Aryan berjalan maju lalu mengikis jarak yang tercipta di antara keduanya. Lantas ia menyelipkan beberapa helai rambut Vanilla ke belakang telinga. "Ada aku, kamu nggak perlu takut."
Terpaan hangat napas Aryan membut bulu kuduk Vanilla meremang serentak. Ia meneguk saliva kasar dan melepaskan tangan Aryan yang hendak membuka kain hitam penutup matanya.
"Sekarang, kamu buka mata kamu," pinta Aryan setelah melepaskan ikat kain hitam penutup mata Vanilla.
Perlahan, Vanilla membuka kelopak matanya. Ia mengedipkan mata berulang untuk menjernihkan pandangan yang semula kabur. Pribadi Aryan yang tersenyum di depan Vanilla dengan buket bunga mawar merah berukuran besar menjadi pemandangan pertama Vanilla. Lalu kelip lilin yang ditata membentuk hati mengalihkan perhatian wanita itu.
"Ar-aryan, apa ini?" tanya Vanilla terkejut.
Ruangan dengan jendela kaca besar yang memanjang dan menampilkan kerlip bintang di langit, tampak romantis dengan taburan bunga mawar di lantai dan juga lilin cantik. Piano berukuran besar diletakkan pada sudut ruangan. Pun gesekan biola dari para pemain profesional pada sudut yang lain menambahkan suasana romantis.
"Aku nggak pandai merangkai kata, Vanilla. Tapi, aku menyukaimu," ucap Aryan yang terlihat mudah mengucapkan kalimat tersebut. Well, Vanilla tidak melupakan sepak terjang Aryan yang gemar mengoleksi wanita.
Senyum tercetak di bibir Vanilla yang terpulas lipstik warna merah muda. Hangat tangan Aryan terasa di genggaman tangan Vanilla.
"Aryan," panggil Vanilla diikuti debaran jantung yang semakin kencang. Buliran bening lantas menyelimuti seluruh bagian mata Vanilla. Pria yang menjadi cinta pertamanya sekarang sedang berdiri dan sedang menyatakan cinta. Bahkan Vanilla sudah jatuh hati ketika mereka masih kanak-kanak. Wajah Aryan seolah tidak bisa lepas dari ingatan Vanilla kala itu.
"Will you be my girlfriend." Aryan menjeda ucapannya sebentar lalu melanjutkan. "Vanilla."
Air mata yang sudah mengumpul di pelupuk mata, tidak bisa ditahan lagi oleh Vanilla. Ia menganggukkan kepala diikuti tetesan air mata yang terjatuh membasahi pipi.
"Hey, kenapa menangis?" tanya Aryan semakin mendekat. Kontan tangannya mengusap air mata Vanilla dengan hati-hati. "Aku takut merusak riasanmu."
Mendengar kalimat itu, Vanilla terkekeh. "Aryan! Kamu ini. Terima kasih."
Aryan lantas membawa tubuh Vanilla ke dalam dekapannya sambil tersenyum. Bunga mawar yang tadinya digenggam erat sekarang dijatuhkan di lantai untuk bergantian merengkuh tengkuk Vanilla. Kedua iris gelap Aryan menatap lekat wajah Vanilla. Tatapan dengan iris segelap obsidian itu mampu melemahkan saraf Vanilla sesaat. Ia hanya bisa terdiam dan pasrah dengan gerakan jemari Aryan yang mulai menggelitik di tengkuknya.
Lembut bibir Aryan yang menyentuh, seketika membuat Vanilla memejamkan mata. Usapan tangan Vanilla di leher Aryan seakan memberi perintah pada pria itu untuk semakin melumat penuh tuntutan.
Gerakan lidah di dalam sana semakin lincah diikuti hisapan seperti kehausan. Aryan terus membelitkan lidahnya dengan ahli, rakus dan ingin menuntut lebih. Seolah tidak peduli jika ada sekelompok pemain biola yang berusaha keras untuk tidak memerhatikan momen mesra itu.
Vanilla menyentuh bibirnya saat putaran masa lalu itu perlahan mengabur. Ia mengigit bibir bawah sembari mencari rasa Aryan yang mungkin tersisa. Sial! Pria itu selalu saja mengacaukan hidup Vanilla.
"Vanilla! Kamu harus fokus sama Gavin! Hanya fokus pada Gavin!" ucap Vanilla memperingati diri sendiri.
Benar, jika masih ada Aryan Aditama di sekitarnya, kehidupan Vanilla tidak akan bisa tenang.
TO BE CONTINUED....
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Deal With Bastard CEO (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA DAN BESTORY)
RomanceADULT ROMANCE (21+) ADITAMA SERIES - ARYAN ADITAMA- Aryan adalah CEO berjiwa bebas dan tidak menyukai komitmen. Ia kembali dipertemukan dengan Vanilla, wanita yang sempat dijadikan bahan taruhan bersama saudaranya. Empat tahun yang lalu Vanilla men...