Chapter 34 - Best Decision

1K 85 4
                                    


Saraf Gavin berhenti sesaat setelah mendengarkan kalimat itu terlontar dari bibir Vanilla

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saraf Gavin berhenti sesaat setelah mendengarkan kalimat itu terlontar dari bibir Vanilla. Ia tidak bisa mengedipkan kedua matanya, hanya bisa terperangah dan berharap ini adalah mimpi.

"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini," lanjut Vanilla yang berhasil menyadarkan Gavin jika ini nyata dan bukan mimpi.

"Van ... Vanilla, aku minta maaf." Gavin berusaha meraih tangan Vanilla ke dalam genggaman, tetapi Vanilla menghindar. "Aku bisa jelasin."

Bola mata Vanilla memutar pada Gavin. "Penjelasan? Aku berusaha mencari penjelasan dari segi apapun masih nggak ketemu, Vin. Kok bisa kamu melakukan itu untuk mendapatkan restu Mama kamu."

"Aku nggak punya cara lain, Van. Aku sayang sama kamu, sama Zayn. Aku ingin jadi bagian dari kehidupan kalian. Maaf, aku terpaksa melakukan kebohongan kecil itu."

Lutut Vanilla lemas lalu terjatuh di kursi teras rumah. Ia menyugar rambut frustrasi sembari membuang napas kasar secara berulang. Kedua mata Vanilla mulai terasa panas bila teringat semua perkataan buruk yang didengar semalam. Ia akan menulikan telinga jika hinaan itu ditujukan untuknya, tetapi tidak untuk Zayn.

"Kebohongan kecil itu bisa menjadi besar, Gavin. Apa yang akan kamu lakukan saat Mama menagih janji ke kamu? Apa kamu akan membantahnya? Mama kamu tidak mudah dibantah, Gavin," terang Vanilla panjang lebar diikuti matanya yang mulai berair.

"Kasih kesempatan buat aku, Van. Please."

Vanilla muak mendengar pria yang selalu meminta kesempatan kedua. Mengapa mereka tidak melakukan yang terbaik pada saat kesempatan pertama? Hingga tidak perlu ada kesempatan kedua, ketiga dan selanjutnya.

"Van, please."

Tatapan nanar Vanilla terlempar pada Gavin. Lalu gelengan samar tercipta, seolah menegaskan jika keputusan Vanilla sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.

"Aku nggak bisa, Vin. Kamu tahu butuh berapa lama aku menata hati untuk kamu? Hatiku pernah hancur, dan sekarang kamu kembali menghancurkannya," ujar Vanilla dengan suara parau, diikuti butiran bening yang terjatuh perlahan dari kedua mata.

"Van."

"Aku tidak mau hubungan kita diawali dengan kebohongan, Gavin," lanjut Vanilla dengan nada tegas. Ia kemudian mengusap air matanya yang mengalir dengan tangan kosong. "Sekarang pergilah!"

"Van." Panggilan Gavin diabaikan. Vanilla langsung melenggang masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan Gavin.

Sementara itu Gavin hanya bisa terduduk lemas sembari menyangga kepalanya di atas lutut. Ia menyesal telah melakukan kebohongan kecil itu. Well, satu kebohongan kecil akan membentuk kebohongan yang besar. Menyesal, itu yang hanya bisa dilakukan Gavin saat ini. Meskipun tidak akan berguna. Penantian selama hampir 5 tahun untuk menunggu Vanilla membuka hati kini berakhir gagal.

"Aryan! Jika aku tidak bisa mendapatkan Vanilla. Maka kamu juga tidak akan bisa," geram Gavin dengan kedua matanya yang berkilat. Ia mengepalkan tangan lalu meninjukannya ke udara. "Tunggu saja!"

***

Cukup lama Hestia diam di dalam mobil sambil memperhatikan kesibukan di toko makrame Vanilla. Ia memerhatikan Vanilla yang menyusun beberapa dus makrame di bagasi mobil. Sesekali Hestia melihat Vanilla mengusap peluh dengan punggung tangan.

Kuku runcing Hestia yang berpulaskan kutekan merah maroon diketukkan pada kemudi seraya terus mengamati Vanilla. Wanita dengan rambut yang diikat tinggi itu terlihat memberikan komando pada dua staf toko.

Hestia lantas melepaskan kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di tulang hidung, saat melihat seorang anak dengan tas punggung berlari kecil menghampiri Vanilla sambil memeluknya. Setelah itu ia melambaikan tangan penuh semangat kepada teman seumurannya yang ikut berteriak di dalam mobil antar jemput sekolah.

Senyuman tipis tercetak di wajah Hestia ketika melihat Zayn terkekeh dan pasrah dengan usapan tangan Vanilla untuk menyeka keringat di wajahnya. Melihat senyuman Zayn, seolah membawa Hestia ke masa lalu, saat Aryan masih balita dan selalu bergelayut manja.

"Rainbow kindergarten," gumam Hestia membaca rangkaian huruf warna-warni yang tercetak di body mobil.

Tidak lama kemudian Vanilla masuk ke dalam mobil bersama Zayn lalu melaju meninggalkan toko makramenya. Sementara itu, Hestia mengayunkan kaki untuk masuk ke dalam sana sembari meneliti produk yang dijual oleh Vanilla.

"Selamat datang," sapa Sandra ramah ketika lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi karena dibuka. Ia terdiam sesaat, merasa tidak asing dengan wajah Hestia. Tentu saja, Sandra mengenal ibu dari Aryan, pria yang digilainya itu.

"Saya lihat-lihat dulu ya, Mbak," ucap Hestia sambil menyapukan pandangan ke sekitar. Meneliti setiap produk yang tertata manis di rak maupun tergantung pada dinding cat putih polos.

"Si-silahkan, Bu," jawab Sandra terbata.

Hestia meraih gantungan kunci yang terbuat dari gabungan simpul tali makrame. Perpaduan warna lilac dan krem tampak melebur apik. Lantas senyuman simpul tercetak di wajah. Ia cukup terkejut dengan informasi yang diberikan oleh Tino mengenai Vanilla. Lebih terkejut lagi jika Aryan mulai tertarik dengan seorang janda anak satu. Menurut Tino, Vanilla belum pernah menikah, lebih tepatnya hamil di luar nikah dan merawat sang putra seorang diri. Merawat anak tanpa harus mencari nafkah saja berat, bagaimana dengan wanita yang harus memikul peran ganda?

"Mbak." Hestia menoleh pada Sandra yang berdiri di belakang meja kasir.

"Iya, Bu."

"Saya bisa beli gantungan kunci ini? Punya berapa pieces?"

"Sebentar saya cek dulu, Bu." Sandra terlihat tidak fokus. Ia memeriksa stok di layar iPad pada meja kasir. "Masih 200 pieces, Bu."

"Ini dibuat sendiri, Mbak?" tanya Hestia.

Kartika yang sedari tadi sibuk mendisplay rak dengan produk baru lantas menyahut, "betul, Bu. Semua produk makrame ini dibuat sama Bu Vanilla."

Hestia mengangguk paham. "Saya ambil semua ya. Sama cermin ini saya ambil semua, tempat pot tanaman, hiasan dinding ini." Hestia asal menunjuk sembari mengedarkan pandangan pada aneka makrame yang terpajang. "Sama tirai ini, saya ambil semua."

"Baik, Bu."

Sandra langsung membungkus semua pesanan Hestia, dibantu oleh Kartika, staf toko Vanilla yang lain.

"Terima kasih, Bu. Kami tunggu kedatangannya lagi," cicit Kartika ramah.

"Sama-sama," sahut Hestia tidak kalah ramah.

Sandra mencuri lihat pada Hestia yang sudah masuk ke dalam mobil. Ia setengah berlari menuju ke toilet sambil merogoh saku dalam untuk mengambil ponsel.

Mengetikkan nomor yang sudah dihafal luar kepala sambil memastikan Kartika tidak tiba-tiba datang dan mencuri dengar.

"Halo, Nyonya," ucap Sandra setelah panggilannya tersambung dan mendengar sahutan dari seberang. "Nyonya, hari ini Nyonya Hestia datang ke toko Vanilla."

Sandra terdiam cukup lama, mendengarkan ucapan lawan bicaranya dengan seksama. "Lalu apa yang harus saya lakukan Nyonya? Baik, akan segera saya lakukan."

Panggilan terputus beberapa saat kemudian, lawan bicara Sandra yang melakukan. Kemudian Sandra mengembuskan napas kasar dan memasukkan ponsel ke dalam saku dengan asal. Ia tidak bekerja di toko Vanilla tanpa maksud. Well, untuk apa bekerja keras di kafe dengan gaji UMR sementara ia terbiasa menjual diri?

TO BE CONTINUED.... 

Halo Lovelies, khusus hari ini buat yang mau baca kelanjutan cerita ini bisa langsung ke Karyakarsa GRATIS yah. Cukup follow akun aku dan masukin voucher ZAYNALEXI. Selamat membaca ^^

How To Deal With  Bastard CEO (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA DAN BESTORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang