“Telur mata sapi, bacon, roti panggang dengan selai raspberry, dan dua gelas espresso,” Damian memesan menu sarapan, dia melirik sekilas ke arah Chaterin yang menopang dagu di hadapannya.
Setelah pelayan itu berlalu Damian fokus pada gadis yang sudah sejak lama membuat dunianya jungkir balik. “Apa kau yakin tidak ingin makan sesuatu? Hmm, maksudku…. Apakah kau hanya akan sarapan secangkir espresso?”
“Aku tidak lapar, Mr. Fitzgerald,” Chaterin menjawab acuh. Dia berkata tanpa berniat melihat ke arah Damian yang tengah menatapnya secara intens.
"Well, aku tidak mungkin memaksa gadis patah hati untuk mengisi perut dengan makanan berat. Dan tolong panggil saja Damian,” dia—Damian—meraih cangkir dari tangan pelayan lain yang baru datang membawa minuman, dan meletakkannya di depan Chaterin.
Meraih cangkir miliknya dan menyesap minuman tersebut tanpa ekspresi. Chaterin melakukan gerakan yang sama dengan malas. Bukan karena minumannya yang membuat dia tidak berselera. Hanya saja duduk berdua dengan orang yang baru beberapa jam dikenal itu terasa aneh.
Terlebih pria tersebut mengetahui permasalahan yang tengah dia hadapi. Jika tidak ingat Damian adalah sahabat Spencer, mungkin saat ini Chaterin sudah menyiram wajah Damian dengan minuman. Karena sudah menyita waktunya dengan alasan membayar hutang.
Mulut pria itu terlalu tajam saat berkata, baru saja dia menyebutnya gadis patah hati. Menjijikan! Ini lebih dari sekedar patah hati. Rasa sakit, kecewa, dan penderitaan entah sebutan apa yang pantas untuk mendeskripsikan perasaan tersebut.
Perlahan Chaterin menyesap minumannya, saat pelayan datang membawa makanan. Pria itu menawarkan roti dengan selai raspberry miliknya. Tapi gadis itu hanya menggeleng lemah, dia benar-benar kehilangan selera makan.
Meski fisiknya terlihat kuat, namun jauh di dalam dirinya menyimpan rasa sakit yang tidak ingin dia tunjukkan pada siapapun. Kecuali Spencer, dan pria itu selalu menjadi pengecualian dalam hidup Chaterin.
Chaterin hanya meringis saat melihat Damian melahap sarapan dengan cepat. Dia terlihat seperti habis berjalan ribuan kilometer tanpa asupan makanan. Pria itu sesekali tersenyum dengan mulut penuh terisi.
“Apa kau benar-benar lapar?” Chaterin tidak tahan untuk menahan suara agar tidak bertanya.
“Ya aku lapar, bahkan sangat lapar! Melihat seorang wanita menangis semalam itu membuat cacing dalam perutku berteriak,” Damian memasukkan potongan roti ke dalam mulut. Dia menyeringai setelah melihat ekspresi Chaterin yang terlihat marah.
“Jangan tersinggung, Miss, aku hanya mengatakan hal yang membuatku merasa begitu lapar.”
“Brengsek! Aku tidak tahu kenapa Spencer bisa mendapatkan teman sepertimu, tapi menurutku dia mengalami benturan hebat di bagian kepala. Kau sangat menyebalkan!” Chaterin memutar mata, dia tidak berniat untuk melihat wajah Damian saat tersenyum.
Meski Caterin akui Damian terlihat tampan, dengan aroma khas yang membuat sesuatu dalam dirinya berteriak. Seperti dorongan gairah yang sulit untuk dikendalikan. Oh persetan dengan ketampanannya! Pria itu sangat tidak berperasaan.
Sejak duduk di cafe sudah dua kali pria itu mengungkit masalah yang sedang coba dilupakannya. “Apakah kau dan Spencer selalu bersama sejak dia pindah ke Manhattan?” Chaterin berusaha bersikap normal. Dia mengalihkan perbincangan agar Damian tidak terus menyinggung masalah dirinya dan James.
“Ya, sepanjang sekolah kami selalu bersama. Bahkan saat di Universitas kami mengambil jurusan yang sama. Baru setelah lulus kami harus berpisah untuk beberapa waktu,” Damian memakan potongan rotinya yang terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender To Destiny [Surrender Series #1]
ActionChaterin Elizabeth Kavanagh seorang gadis yang cantik, pintar dan juga banyak prestasi yang sudah dicapainya. Namun dia menutup diri dari sekitar semenjak kematian sang Ayah. Banyak pria yang berusaha untuk menarik perhatian dan mengajaknya berkenca...