BAB 18

3.7K 264 4
                                    

Pagi semuanya. Buat yang sudah Vote dan komen serta follow akun wattpad aku dan masukin cerita ini ke reading list terima kasih banyak ya 😘😍

🦋🦋🦋

Damian berbelok menuju loby, namun langkahnya berhenti saat dia melihat Neil berjalan ke arahnya. Agen terbaik yang menjadi bawahan sekaligus wakilnya tersebut baru saja memarkir Ferrari yang selalu ditumpanginya kemanapun.

"Syukurlah kau datang, aku berniat membeli makanan tapi sepertinya aku harus bertemu Spencer untuk membahas sesuatu," Damian menjalankan jarinya di atas rambut, dia merasa frustasi melihat keadaan Delilah yang tidak berdaya.

"Pergilah, berikan tugas membeli makanan padaku. Ngomong-ngomong makanan apa yang kau inginkan?" Neil bertanya sebelum dia berbalik dan berjalan ke arah pintu.

"Di sebrang sana ada makanan Thailand, belilah beberapa yang kau rasa enak," Damian berbalik, dia kembali menuju lantai tempat Delilah dirawat. Saat ini dia membutuhkan Spencer untuk dimintai pendapat. Setelah lift yang ditumpanginya berhenti, dia berbelok menuju kamar paling ujung dengan jendela yang menghadap langsung ke taman buatan yang ada di luar.

Damian membuka pintu setelah sebelumnya dia merasa ragu untuk berkunjung. Tapi masalah ini menurutnya tidak bisa dibiarkan menunggu lebih lama lagi, dia masuk dengan hati-hati, sesampainya di dalam Damian mendapati sahabatnya tidur sambil mendengkur.

'Dokter sexy itu pasti akan membunuhku jika tahu aku mengganggu pasiennya pada jam seperti ini.'
Damian meringis saat bayangan Dokter Camilla melintas di atas kepalanya, dia berharap Dokter itu tidak menyuntikkan obat kebiri karena telah membangunkan Spencer pada jam 3 pagi.

"Hei, pembuat celana dalam wanita meleleh. Bangunlah! Aku butuh bantuanmu," Damian menyentuh kaki Spencer dengan tangannya, namun hasil yang dia harapkan tidak terjadi. Pria itu malah menggumamkan serentetan kata kotor yang tidak pantas diucapkan jika berada di dalam gereja. Merasa kesal, Damian mengambil langkah akhir sebelum dia kehilangan waktu untuk meminta saran.

"Spence, Dokter Camilla memintaku untuk membangunkanmu," tidak sampai satu detik mata Spencer sudah terbuka, dia duduk tegap seolah lupa bahwa bahu sebelah kirinya masih diperban dan terasa berdenyut.

"Dasar bajingan," gumam Damian, saat melihat  sahabatnya itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Spencer menggeram kesal ketika hanya mendapati Damian yang tengah menatapnya dengan alis terangkat sebelah."Sialan! Kau mengambil waktu istirahatku!"

Saat Spencer berniat untuk kembali tidur, Damian sudah menahannya agar tetap duduk. "Jangan tidur lagi, aku butuh saran darimu," Spencer hendak menyela. "Dan ini berkaitan dengan Chaterin," saat itu juga Spencer berusaha untuk fokus dan mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.

"Oh brengsek! Apa sih yang kau lakukan padanya? Jangan katakan padaku bahwa kau sudah keras sepenuhnya, lalu gadis itu mundur dan meninggalkanmu?" Pertanyaan Spencer mendapat sebuah pukulan ringan di bagian kaki. "Lalu jika bukan masalah kau tidak bermesraan, ada hal penting apa sehingga kau membangunkanku?" Spencer mendengus.

"Sialan kau! Aku rasa kau harus membuang pikiran kotormu sebelum menjadi penyakit kronis. Ada masalah serius tentang Chaterin, tadi siang dia hampir diculik dan kurang dari dua jam lalu Delilah dilarikan ke ICU," papar Damian.

"Brengsek, apa yang terjadi? Seberapa banyak aku melewatkan informasi?" Spencer memaki dengan suara berlebihan. Entah bagaimana caranya, yang pasti dia merasa menjadi sangat segar dan tidak berniat untuk kembali tidur, berita yang baru saja meluncur dari mulut Damian terdengar seperti alarm bahaya di saat perang.

"Ceritanya panjang, aku ingin kau memberikan saran untuk keadaanku saat ini," wajah Damian berubah muram, dia membutuhkan sesuatu yang bisa membuat hatinya kembali tenang. Dia sudah membohongi Chaterin dan itu membuat hatinya merasa sangat bersalah, tapi beberapa hari terakhir dia belum mempunyai kesempatan untuk berkata jujur pada gadis yang sudah sejak lama mencuri hatinya tersebut.

Dia menginginkan Chaterin hingga seluruh tubuhnya terasa nyeri, terlalu banyak malam yang harus Damian lewati dengan membelai diri sendiri. Membayangkan dapat bersama Chaterin, itu adalah hal terbesar yang paling dia inginkan di dunia.

"Baiklah aku akan memberi saran semampuku, tapi sebelum itu... cepat antarkan aku ke kemar mandi," Spencer memberi perintah dengan lugas. Dia tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun saat Damian menggeram sambil melotot. "Silahkan pukul aku hingga pingsan, tapi setelah itu kau tidak akan mendapat saran dariku," Spencer berkata acuh, tangannya masih terulur—meminta Damian mengantarnya ke toilet.

"Dasar kau bajingan, jika aku tidak ingat sedang membutuhkan bantuan. Mungkin saat ini tulangmu sudah terpisah dan aku akan mengikatnya di setiap sisi ranjang," dengan terpaksa Damian menyambut tangan Spencer, memapah pria itu berjalan menuju kamar kecil.

"Bersikap baiklah padaku! Apa kau ingin masuk dan menemaniku selama buang air kecil?" goda Spencer dengan seringai penuh kemenangan. Dia tahu Damian tidak akan berani macam-macam mengingat pria itu membutuhkan bantuannya, terlebih saat ini dirinya masih belum sehat sepenuhnya.

"Jika nanti kau sudah sehat, tolong ingatkan aku untuk segera membunuhmu. Sialan!" Damian tersenyum masam, Spencer tetap saja usil masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu. Persahabatan mereka terjalin sangat erat dengan segala kelakuan abnormal yang sering kali membuat orang lain terperangah.

"Nanti aku akan berusaha untuk mengingat pesanmu. Tapi saat ini apa kau bisa membantuku untuk mencuci kepala kejantananku?" Spencer tergelak saat dia mendengar Damian mengeluarkan sumpah serapah.

"Jangan berisik Mister! Ini rumah sakit bukan pantahouse tempat tinggalmu."

"Terserah kau saja brengsek!" Damian mulai merasa kesal karena Spencer terlalu lama di kamar mandi, "Cepatlah keluar Spence! Ada masalah berat yang ingin aku ceritakan padamu," tepat saat Damian menyelesaikan ucapannya, Spencer muncul dari balik pintu dengan sebuah seringai menjengkelkan.

"Baiklah aku siap untuk mendengarkan ocehanmu," dia berputar ke sisi ranjang, lantas menaikkan tubuhnya ke atas kasur. Damian dengan malas duduk di kursi yang tersedia untuk menunggu pasien. "Lalu ada masalah penting apa yang membuatmu terlihat sangat khawatir?" kali ini Spencer berubah serius.

Damian menarik napas berat, dia menunjukan tatapan frustasi. "Chaterin sudah mengetahui siapa orang yang ingin menculiknya. Tadi siang dia nyaris dibawa oleh para penjahat itu, beruntung Neil datang tepat waktu. Jika pria itu tidak datang... Entah bagaimana perasaanku saat ini," Damian masih berusaha menenangkan diri, peristiwa hari ini terjadi begitu beruntun. Membuatnya sedikit stres dan mengalami berbagai perasaan khawatir.

"Apakah dia sudah mengetahui detail tentang keberadaanmu? Maksudku apakah dia tahu bahwa kau memang bertugas untuk menjaganya?" Spencer membenarkan letak bantal yang digunakan untuk bersandar.

"Dia sudah mengetahui semuanya hingga detail, termasuk soal Delilah dan James. Tapi aku masih belum bisa menjelaskan tentang diriku lebih jauh lagi," Damian mulai bangkit, dia mengitari ruangan sambil sesekali menarik rambutnya dengan jari tangan."Aku melihatnya muntah, dan oh Tuhan. Kau seorang bajingan pasti tahu apa yang aku pikirkan. Aku hanya takut bajingan itu tidak menggunakan pengaman saat melakukannya bersama Chaterin. Delilah sangat mencemaskan gadis itu sama seperti kau mencemaskannya, hanya saja aku takut dia menjadi berang jika tahu bahwa aku adalah seseorang yang diutus oleh Delilah untuk menjaganya," Damian menatap ke luar jendela.

Lampu-lampu yang berkerlip menghias seluruh kota tidak membuat hatinya merasa tenang. Hal itu malah semakin membuat Damian merasa kalut.

****

Surrender To Destiny [Surrender Series #1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang